Kamis, 08 Juli 2010

Pendidikan di Tatar Sunda

Oleh : Iwan Hermawan

Neleng neng gung; Neleng neng gung
Geura gede geura jangkung; Geura sakola ka Bandung
Geura makayakeun indung


Sebuah tembang yang sering kita dengar dari mulut orang tua ketika menimang anaknya yang masih bayi atau usia balita. Tembang tersebut berisikan harapan orang tua pada anaknya, agar cepat besar dan bisa bersekolah tinggi dan setelah lulus bisa membahagiakan orang tua, sebuah harapan yang hanya tumbuh di lingkungan masyarakat yang sudah melek akan pendidikan, karena tidak mungkin orang tua berharap anaknya bersekolah tinggi jika lingkungan sekitar tidak mendukung. Melihat isinya, tembang ini berkembang ketika Bandung menjadi pusat pendidikan di tatar Sunda, khususnya dan Indonesia (Hindia pada umumnya), dimana orang dari berbagai penjuru negeri datang ke kota ini dengan maksud untuk menuntut ilmu.
Perjalanan pendidikan formal di tatar Sunda sebenarnya berlangsung bukan sejak mulai berkembangnya tembang di atas, tetapi jauh sebelum Belanda memperkenalkan sistem pendidikan barat/modern, yaitu sejak zaman kerajaan Sunda melalui Mandala atau kabuyutan. Keruntuhan kerajaan Sunda bukan berarti ikut hancur juga tatanan pendidikan di tatar Sunda, karena budaya pendidikan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman namun perkembangannya sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa yang berkuasa di tatar Sunda.

Dari Mandala ke Sekolah model barat
Pada masyarakat tradisional Sunda, belajar sudah menjadi bagian dalam kehidupannya sejak dahulu, Carita Parahyangan mencatat, raja Sunda yang bernama Sang Rakeyan Darmasiksa (hidup sekitar abad ke 12 sampai 13) merupakan pendiri lembaga pendidikan di Tatar Sunda pada masa itu. Lembaganya diberi nama Sanghyang Binayapanti, sedangkan kompleks pendidikannya disebut Kabuyutan yang kemudian disebut juga mandala. Kedudukan mandala atau kabuyutan memperoleh tempat tersendiri yang tingi kedudukannya sehingga sangat dihormati pada struktur kerajaan dan masyarakat Sunda masa itu.
Keberadaan lembaga pendidikan (kabuyutan) bagi masyarakat Sunda dianggap sebagai tempat yang sakral dan secara formal perlu dilindungi oleh kerajaan. Pengakuan akan keberadaan Kabuyutan sebagai daerah khusus dan dilindungi keberadaannya oleh kerajaan terungkap pada prasasti Kebantenan I, II, III dan IV. Isi perasasti-prasasti tersebut merupakan amanat Raja Pajajaran yang menjadikan daerah Jayagiri dan Sunda Sembawa sebagai kabuyutan serta melindunginya dari berbagai ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Berdasarkan naskah Amanat Galunggung, kedudukan kabuyutan di kerajaan Sunda sangat tinggi hingga seorang raja yang tidak dapat mempertahankan dari serangan musuh nilainya lebih rendah dibanding kulit lasun (Musang) di tempat sampah.
Keberadaan kabuyutan sebagai lembaga pendidikan telah menghasilkan berbagai karya tulis yang isinya terutama berkenaan dengan tuntunan hidup manusia di dunia agar selamat di dunia dan akhirat kelak, diantaranya : Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Koropak 630), dan Amanat Galunggung (koropak 632).
Masuknya Islam di Tatar Sunda telah memberikan warna tersendiri pada pendidikan di Tatar Sunda, terutama pada pendidikan keagamaan. Menurut catatan Ekadjati, dalam perjalanan sejarahnya terdapat dua model pendidikan agama pada masa Islam di Tatar Sunda, yaitu:
1. Kegiatan Individual yang dilaksanakan oleh seorang atau beberapa orang mubalig atau guru agama
2. Kegiatan lembaga pesantren. Pesantren yang pertama di Tatar Sunda adalah pesantren yang dibuka dan dipimpin oleh Sundan Gunung Jati sekitar abad ke 15 di bukit Amparan Jati, sekitar 5 km utara Cirebon. Sedangkan di daerah pedalaman Tatar Sunda, pesantren pertama didirikan di daerah Pamijahan, Tasikmalaya Selatan, pada sekitar abad ke 17.

Proses pendidikan agama Islam di Tatar Sunda sampai sekitar abad ke 19 mempunyai ciri khas, yaitu : pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter antara Pesantren dengan kabuyutan. Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan ajar. Kedua, orientasi dan bahasa pengantarnya mengarah pada daerah (Sunda) dan bahasa Jawa, sebagaimana lembaga pendidikan pada masa pra-Islam, karena islamisasi di Tatar Sunda banyak ditunjang dan dipelopori oleh orang dan budaya Jawa, baik pada masa Kesultanan Demak (abad ke-15 dan 16) maupun masa kesultanan Mataram (Abad ke-17 dan 18). Keberadaan Pesantren sebagai tempat pendidikan terus berkembang pesat hingga pesantren mempunyai kedudukan yang kuat dan fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan. Pesantren menjalin hubungan yang sangat erat dengan pemegang kekuasaan di daerahnya (Sultan di Cirebon dan Banten, bupati di Priangan) yang dapat dilihat dari dijadikannya pesantren sebagai tempat pendidikan putra-putra menak atau pembesar setempat.
Pada saat Tatar Sunda berada di bawah kekuasaan kesultanan Mataram sampai dengan pertengahan abad ke 19, penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa resmi atau bahasa pemerintahan semakin tergeser oleh bahasa Jawa, bahasa Sunda hanya dipergunakan sebagai bahasa komunikasi di tengah masyarakat (bahasa lisan). Para pembesar di Tatar Sunda lebih senang mempergunakan bahasa Jawa dalam komunikasi resmi (surat menyurat) di antara mereka, meski dalam kehidupan sehari-hari mereka berbicara dalam bahasa Sunda, selain itu penggunaan huruf Sunda dalam bahasa tulis juga semakin tergeser oleh huruf Cacarakan dan huruf Arab (pegon).
Penyelenggaraan Pendididikan untuk masyarakat Bumiputra pada awal abad ke-19 mulai menjadi kewajiban bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1808 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1762-1818) mengumumkan keputusan yang mengharuskan para regent (bupati) membangun sekolah untuk anak-anak Bumiputra dan mengangkat guru-guru berkualitas. Namun, keputusan tersebut tidak dapat langsung terlaksana dengan baik sampai ditetapkan dasar hukumnya pada tahun 1818, yaitu Regerings Reglement (Peraturan Pemerintah Hindia Belanda) yang menetapkan pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak-anak Bumiputra yang sama atau mirip dengan yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa (Chijs). Tujuan pendirian sekolah bagi kaum pribumi adalah untuk memperoleh tenaga kerja murah yang terdidik dan terlatih dalam jumlah banyak sejalan dengan dikembangkannya sistem pemerintahan yang profesional dan diberinya kesempatan para pemilik modal (swasta) untuk membuka perusahaan-perusahaan besar.
Pembangunan Sekolah bagi Bumiputra dengan biaya pemerintah Hindia Belanda dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen (1816-1826), yaitu dengan melengkapi fasilitas pendidikan di Pasuruan, Karawang dan Cianjur. Sekolah-sekolah tersebut masih sederhana, seorang guru mengajarkan baca tulis kepada siswa selama beberapa jam sehari. Di Cianjur, Bupati mendukung pendirian sekolah tersebut, karena sekolah dipandang dapat membuka jalan bagi anak-anak mereka dalam memperoleh pendidikan, yang pada akhirnya diharapkan dapat mendekatkan mereka dengan pejabat kolonial. Sistem pendidikan baru tersebut tidak langsung dapat diterima masyarakat luas, karena masyarakat lebih suka mengirim anak-anaknya ke Pesantren dan Madrasah untuk belajar mengaji dan membaca kitab-kitab Agama. Pada bulan September 1851, Sekolah Pelatihan Guru (Kweekschool) pertama didirikan di Surakarta. Sedangkan di Jawa Barat, kweekschool berdiri pada tahun 1866 di Bandung berkat dukungan kuat dari KF Holle.
Setelah sekolah guru di Bandung menghasilkan lulusan, perkembangan pendidikan bagi anak-anak pribumi mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 1908 di Tatar Sunda telah berdiri sebanyak 90 Sekolah Dasar, 53 di antaranya berada di Priangan. Jika pada awalnya yang dapat bersekolah adalah anak-anak kalangan menak (elit), perluasan kesempatan pendidikan terus dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah di pedesaan (Sakola Desa, Volksschool) sehingga anak-anak dari kalangan rakyat biasa (cacah) juga bisa bersekolah, walau kualitas sekolahnya lebih rendah. Bagi lulusan Sekolah Dasar (Sakolah Distrik, Sakola Kabupaten, HIS) yang berminat untuk melanjutkan studinya disediakan sekolah lanjutan, sekolah umum (MULO, AMS, HBS) dan sekolah kejuruan (Kweekschool, Hoge Kweekschool, Ambachtschool, STOVIA, NIAS, Rechtsschool, Cultuurschool, Middlebare Landbouwschool, Hoofdenschool yang berubah menjadi OSVIA).
Selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, berdiri juga sekolah-sekolah Swasta yang didirikan oleh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, seperti Muhammadyah dan Paguyuban Pasundan. Dalam praktek pendidikannya, selain memberikan materi pelajaran modern, pada sekolah-sekolah swasta juga diberikan mata pelajaran khusus tentang keagamaan dan Kasundaan yang tujuannya sudah jelas agar para lulusan selain mampu mengusai Ilmu Pengetahuan barat tetapi tetap tidak melupakan nilai-nilai luhur agamanya sekaligus nilai-nilai kasundaan.
Sejak tahun 1920-an didirikan juag Pendidikan Tinggi oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, seperti Sekolah Tinggi Tehnik (TH), Sekolah Tinggi Hukum (RHS), dan Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS). Sejak saat itu, minat penduduk pribumi untuk bersekolah terus meningkat dengan tajam sehingga jumlah sekolah terasa kurang. Meningkatnya minat pribumi untuk bersekolah didorong oleh kenyataan, lulusan sekolah-sekolah tersebut relatif mudah mendapat pekerjaan baik di lingkungan pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan swasta sehingga status sosial dan kesejahteraan hidup mereka menjadi lebih baik. Sekolah mulai menjadi kebutuhan masyarakat tatar Sunda khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Perkembangan pendidikan di tanah Sunda terus berkembang dan semakin berkembang di era kemerdekaan, jumlah sekoah yang dibuka terus bertambah dari tahun ke tahun, demikian pula halnya jumlah Perguruan Tinggi terus bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, semua itu dilakukan untuk memeberikan kesempatan kepada masyarakat di tatar Sunda untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Penutup
Perjalanan pendidikan tentu tidak akan berhenti sampai di sini, tapi akan terus berjalan dan berkembang entah sampai kapan, mungkin sampai dunia ini hancur dn tidak ada lagi menusia yang hidup di muka bumi. Berbagai target dan tujuan dibebankan kepada pendidikan dan semua itu dilakukan demi peningkatan kualitas generasi berikut, karena kita tidak akan pernah kembali ke belakang namun terus maju ke depan. Agar generasi muda Sunda saat ini dan masa yang akan datang menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan amanat UUD 1945, maka pendidikan harus mampu menjadi ajang proses regenerasi yang berkualitas. Semoga perjalanan pendidikan di tatar Sunda ke depan dapat semakin nanjung dan mampu menghasilkan generasi yang berkualitas yang siap membangun negeri dengan penuh amanah. Sebuah generasi yang cageur, bageur, bener jeung pinter. Semoga......