Rabu, 13 Oktober 2010

NILAI STRATEGIS JALAN DAENDELS BAGI PERTAHANAN HINDIA BELANDA DI PULAU JAWA (Kajian Geografi Sejarah)

Oleh : Iwan Hermawan

(Tulisan ini diterbitkan dalam buku : Dari Masa Lalu ke Masa Kini, Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor : Wanny Rahardjo Wahyudi. Penerbit : Alqaprint, Jatinangor - Balai Arkeologi Bandung, 2010)

Abstrak

De groote postweg or the road of Daendels is the first longest highway in Indonesia. The road is built during the reign of the Governor-General Herman Willem Daendels. This road runs along on the north coast of Java Island, from Anyer to Panarukan. It is aimed to strengthen the Dutch East Indies, especially Java Island from British troops attack.

Based on the road-building goals is to strengthen the defense, the consideration of military strategy is more prominent than any other consideration. This can be seen from the route of the road which turn to south after through Batavia and go to Bandung. After Bandung, the route of the road goes to east to end at Cirebon. From Cirebon to Panarukan, the route of the highway leading north coast to go down the north coast Java. Other fact showed more prominent military considerations, is the command of Daendels to all the regents in the along highway Which the centre of district is far from the road project,they must move the district capital to the area near of the road project. Subsequent developments, de groote postweg have strategic value in economic development, especially for the growth and development of cities in the island of Java.

Kata Kunci :

Jalan Raya Pos, Strategi Militer, Kota Bandung

Pendahuluan

Komunikasi dan transportasi merupakan dua hal penting dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat. Perkembangan sebuah kota atau wilayah akan selalu berhubungan dengan jalur transportasi atau jalan yang menghubungkannya dengan daaerah lain. Hal ini karena komunikasi dan transportasi yang lancar akan dapat menggerakkan roda perekonomian masyarakat, sehingga semakin banyaknya jalan yang menghubungkan suatu kota dengan kota lain atau suatu wilayah dengan wilayah yang lain, maka semakin maju kota atau wilayah tersebut.

Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sudah sejak dahulu fasilitas jalan raya yang memadai di pulau Jawa menjadi perhatian pemerintah. Salah satu ruas jalan yang paling terkenal dan dibangun zaman pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) adalah Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer di bagian barat pulau Jawa (Propinsi Banten, sekarang) hingga Panarukan di bagian timur (propinsi Jawa Timur, sekarang) dengan panjang lebih dari 1000 km dan menghubungkan kota-kota pelabuhan utama pulau Jawa.

Pembangunan jalan raya pos dibangun atas perintah kaisar Belanda sebagai bagian dari upaya mempertahankan pulau Jawa dari serbuan pasukan Angkatan Laut Inggris yang saat itu memblokade perairan laut Jawa. Waktu pembangunan jalan raya sepanjang 1000 km tersebut dilakukan selama satu tahun pertama (1808-1809) pemerintahan gubernur Jenderal Daendels.

Jalan Anyer – Panarukan merupakan ruas jalan pertama yang dibangun sepanjang pantai utara Jawa. Pembangunan jalan lainnya di pulau Jawa berikutnya baik di jaman Kolonial maupun kemerdekaan selalu bermuara di jalan raya Pos. Sehingga, keberadaan jalan raya Pos atau jalan Daendels tetap sebagai jalan utama yang potensial bagi pengembangan perekonomian pulau Jawa dan hingga saat ini belum tergantikan.

Pada awal pembangunannya, jalan raya pos dibangun sebagai bagian dari strategi militer dalam upaya mempertahankan pulau Jawa dari serangan Angkatan Laut Inggris yang saat itu sudah memblokade pulau Jawa. Hal ini diperlukan, karena jika terjadi penyerangan oleh pasukan Inggris maka lancarnya aliran bala bantuan ke daerah konflik sangat diperlukan dalam upaya mempertahankan pulau Jawa agar tidak sampai jatuh ke tangan Inggris.

Bila melihat kota-kota yang dilalui oleh Jalan raya pos, ternyata rute jalan raya tersebut tidak hanya menyusuri pesisir utara pulau Jawa dan menghubungkan kota-kota pelabuhan utama, karena dari Batavia jalan berbelok ke selatan menuju tengah-tengah pulau Jawa dan setelah melalui Tatar Ukur (Bandung, sekarang) rute jalan raya tidak terus ke selatan melainkan kembali berbelok menuju pesisir utara pulau Jawa, tepatnya menuju kota pelabuhan Cirebon. Dari Cirebon, jalan raya tersebut menyusuri pesisir utara pulau Jawa menghubungkan kota-kota pelabuhan yang berada di Jawa Tangah dan Jawa Timur hingga berakhir di Panarukan.

Bersamaan dengan saat pembangunan jalan raya, Daendels juga mendirikan jasa pos dan telegraf, sehingga jalan ini dikenal sebagai Jalan Raya Pos (De Groote Postweg). Jalan yang niat awalnya dibangun untuk tujuan militer dan mulai digunakan sejak tahun 1809, pada perkembangan berikut justru berkembang menjadi sarana perhubungan sangat penting di Pulau Jawa. Jalan ini telah menjadi saksi bisu lalu lintas berbagai barang komoditas yang diangkut melintasinya sejak masa penjajahan hingga sekarang. Kini, di usia yang sudah memasuki dua abad, Jalan Raya Pos telah berperan sebagai salah satu urat nadi utama perekonominan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, muncul pertanyaan “mengapa pembangunan jalan raya pos di bagian barat pulau Jawa rutenya berbelok dari Batavia ke selatan, yaitu menuju Bogor dan kemudian berlanjut ke Tatar Ukur ?. Padahal rute langsung Batavia ke Cirebon relatif lebih dekat dan lebih mudah karena tidak perlu ‘membongkar’ perbukitan dan pegunungan”.

De Groote Postweg

Daendels adalah seorang Marsekal yang diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda oleh Louis Napoleon, Raja Belanda. Louis Napoleon sendiri adalah adik Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis yang diangkat sebagai wakil pemerintah perancis yang saat itu menguasai Belanda. Salah satu tugas yang diembankan kepada Daendels memperbaiki pertahanan Belanda di pulau Jawa dari kemungkinan serangan balatentara Inggris yang saat itu sudah memblokade pulau Jawa.

Blockade Inggris atas pulau Jawa telah menyebabkan Daendels harus datang ke Hindia Belanda melalui perjalanan panjang dengan menumpang kapal dagang berbendera Amerika Serikat asal New York. Setelah melalui perjalanan panjang, pada tanggal 5 Januari 1808 Daendels tiba di Anyer. Perjalanan dari Anyer ke Batavia dilakukan Daendels melalui darat dengan mempergunakan kereta kuda yang ditempuhnya selama 4 (empat) hari. Kondisi jalan tersebut lebih parah ketika musim penghujan karena tidak dapat dilalui.

Sebagai seorang yang berpengalaman di bidang strategi perang, dia menganggap jarak tempuh Anyer – Batavia selama 4 hari terlalu lama karena dapat menghambat distribusi bantuan yang diperlukan jika terjadi penyerangan oleh Angkatan Laut Inggris. Guna mengatasi pemasalahan tersebut, Daendels segera mengumpulkan semua pembesar pribumi di Semarang guna konsolidasi dalam upaya memperkuat pertahanan pulau Jawa agar tidak sampai jatuh ke tangan pasukan Inggris.

Karena perjalanan laut tidak memungkinkan, perjalanan dari Bogor ke Semarang dilakukan Daendels dengan kereta kuda melalui Bandung (Tatar Ukur) dan memakan waktu 10 hari perjalanan. Blokade laut yang dilakukan oleh Inggris dan lamanya perjalanan yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari Anyer ke Batavia dan dari Bogor ke Semarang memberikan inspirasi pada Daendels untuk membangun jaringan jalan sepanjang pulau Jawa yang dapat dilalui semua jenis kendaraan. Tujuannya, adalah agar waktu tempuh perjalanan darat antar kota dapat dipersingkat. Secara strategi Militer, kondisi tersebut dapat berdampak pada kemudahan dan kecepatan dalam permintaan atau pengiriman bala bantuan ketika diperlukan.

Sampai pertengahan abad ke 18, perjalanan dari Batavia ke pedalaman Priangan dilakukan dengan naik perahu atau rakit melewati Sungai Citarum dan Cimanuk. Baru pada tahun 1786, jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia, Bogor, Cianjur dan Bandung. Perhatian terhadap pembangunan jalan di pulau Jawa, termasuk ruas Batavia, Bogor, Cianjur dan Bandung, baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) melalui pembangunan jalan raya pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan atau Jalan Raya Pos atau “De Groote Postweg”(Kunto, 1984:11-13). Panjang jalan raya yang dibangun mencapai lebih dari 1000 km dan menghubungkan kota-kota pelabuhan di pesisir utara pulau Jawa. Jalan ini menghubungkan kota-kota sebagai berikut : Anyer – Serang – Tangerang – Jakarta – Bogor - Cianjur – Cimahi - Bandung - Sumedang - Cirebon - Brebes - Tegal – Pemalang – Pekalongan - Kendal – Semarang – Demak – Kudus – Rembang – Tuban – Gresik – Surabaya – Sidoarjo - Pasuruan- Probolinggo - Panarukan.

Pembangunan jalan raya terpanjang pada masanya tersebut dilaksanakan dalam waktu satu tahun (1808-1809) dengan sistem kerja paksa, dimana setiap daerah yang dilalui diharuskan mengerahkan rakyatnya secara bergilir untuk kerja bakti membangun atau meningkatkan jalan tersebut. Menurut catatan dari sumber Inggris jumlah korban jiwa akibat dari pembangunan jalan ini adalah sebanyak 12.000 orang, sedang Haryoto Kunto dalam bukunya yang berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (1986) mencatat jumlah korban jiwa akibat pembangunan Jalan Raya Pos adalah sebanyak 30.000 jiwa atau 30 orang per Km. Jumlah korban sebenarnya pasti melebihi catatan yang ada, karena belum ada penyelidikan resmi untuk mengungkapnya.

Mengingat usulan pembangunan jalan raya baru dipastikan tidak akan dikabulkan pemerintah kerajaan Belanda dengan alasan akan memakan dana besar dan menguras kas pemerintah, untuk rencana tersebut Daendels mengajukan usulan kepada pemerintah pusat di Belanda berupa perbaikan sistem jalan di pulau Jawa, bukan membangun jalan baru yang memakan dana besar. Pada pelaksanaannya, Daendels memperbaiki jalan dari Cisarua sampai Karangsembung dengan biaya pemerintah sepanjang lebih kurang 150 km. Untuk membangun jalan raya sisanya sepanjang 850 km, Daendels pada tanggal 5 Mei 1808 memerintahkan aparat pemerintahan di pulau Jawa untuk mengerahkan pekerja rodi (pekerja sukarela dengan tidak dibayar) yang tugasnya adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas jaringan jalan yang sudah ada hingga dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan. Ruas jalan raya yang dibangun oleh Daendels, sebagian jalurnya merupakan bagian dari jalan desa yang dirintis dan ditempuh pasukan Sultan Agung ketika menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1630.

Perintah Daendels inilah yang menjadi awal penderitaan dan kesengsaraan orang Indonesia dalam membangun jaringan jalan terpanjang di dunia pada masa itu. Kesengsaraan dan penderitaan tersebut disebabkan karena selama pembangunan jalan, peralatan yang dipergunakan adalah peralatan sederhana yang dibawa pekerja dari rumah masing-masing, medan yang berat, serangan penyakit mematikan (malaria), tidak tercukupinya asupan makanan, serta berbagai bentuk kekejaman lainnya. Rakyat tidak dapat menolak perintah sang Gubernur Jenderal walau dirasa merugikan, karena penolakan akan berujung pada penyiksaan dan kematian.

Setelah satu tahun pengerjaan (1808-1809), proyek prestisius Daendels akhirnya terwujud. Sebuah ruas jalan raya dengan panjang 1000 km lebih membentang dari Barat sampai Timur pulau Jawa, menghubungkan kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan.

Bandung dipersiapkan sebagai tempat pengungsian

Ketika terjadi peperangan, keberadaan tempat pengungsian yang aman dan sulit dijangkau oleh musuh sangat diperlukan, termasuk tempat pengungsian bagi pemerintahan. Hal ini diperlukan agar roda pemerintahan dapat tetap berjalan walau peperangan berkecamuk. Dengan kata lain untuk memperlambat kekalahan. Keberadaan tempat pengungsian bagi pemerintahan tentunya harus dekat dengan pusat pemerintahan namun lokasinya mudah dijangkau namun cukup terlindung atau mudah dilindungi.

Sebagai seorang tentara yang sangat memahami strategi perang, Daendels meyakini betapa pentingnya sebuah tempat pengungsian bagi pemerintahan Hindia Belanda jika Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda diserang Inggris. Pemblokadean laut oleh Inggrislah yang mendorong Daendels untuk menjadikan daerah Tatar Ukur (Bandung) yang berada di pedalaman pulau Jawa sebagai tempat pengungsian dan pertahanan terakhir jika pemerintahan Hindia Belanda terdesak dari Batavia.

Jika dikaji secara geografis dan geostrategis, pemilihan Bandung sebagai tempat pengungsian yang dipersiapkan pemerintah Hindia Belanda sangatlah tepat dan sesuai dengan konsep geopolitik dan geostrategis yang berkembang pada masa itu. Daerah pengungsian atau pertahanan terakhir merupakan daerah yang mudah dijangkau dan mudah dipertahankan, akan tetapi bagi musuh daerah tersebut haruslah secara alami sulit dijangkau.

Pertama, secara geografis letak Bandung tidak terlalu jauh dari ibu kota Hindia Belanda, yaitu Batavia. Selain itu, Bandung juga tidak terlalu jauh dari kediaman resmi gubernur jenderal Hindia Belanda yang berada di Bogor. Kedua, secara geomorfologis, Bandung berada di dataran tinggi tepatnya merupakan bagian dari zona depresi antarmontana yang sulit dijangkau karena dikelilingi oleh pegunungan tinggi dan terjal. Ketiga, jalan masuk Bandung pada masa itu hanya dua, yaitu dari arah barat melalui Bogor kemudian Cianjur dan Padalarang; serta dari arah timur melalui Cirebon, kemudian Majalengka dan Sumedang. Sebelah utara dan selatan merupakan pegunungan tinggi yang ditutupi oleh Hutan Hujan Tropis yang lebat dan sulit dijangkau. Minimnya jalan masuk menuju Bandung akan memudahkan pengawasan dan penjagaan sekaligus mempertahankan wilayah, karena pasukan dapat difokuskan di kedua pintu masuk, yaitu di sebelah barat dan sebelah timur Bandung guna menghadang musuh.

Karena pembangunan Jalan Raya Pos (de groote postweg) diarahkan untuk mempermudah komunikasi dan transportasi ketika terjadinya peperangan atau lebih diarahkan pada fungsi militer. Untuk mendukung proyek tersebut, Daendels selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda memerintahkan kepada Bupati di sepanjang jalur yang dilewati Jalan Raya Pos harus membangun pusat pemerintahannya di daerah yang dilalui Jalan Raya Pos yang sedang dibangun, jika berada jauh dari jalan raya pos maka harus segera dipindahkan. Berkaitan dengan hal tersebut, tanggal 25 Mei 1810 Daendels mengeluarkan surat perintah kepada bupati Bandung, Wiranatakusumah II yang isinya perintah untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Karapyak ke daerah yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. Perintah Gubernur Jenderal tersebut segera dilaksanakan oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah II. Setelah berbulan-bulan mencari lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan dan pembangunan pendopo kabupaten, maka pada tanggal 25 September 1810 secara resmi ibukota kabupaten Bandung pindah dari Karapyak ke lokasi baru di sisi selatan Jalan raya Pos tepian yang tepat di tepian sungai Cikapundung (kawasan Alun-alun Bandung, sekarang).

Selain itu, harapan yang disampaikan Daendels kepada pengelola kota Bandung ketika melakukan inspeksi pembangunan jembatan yang melintas di atas sungai Cikapundung, yaitu “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebound !” yang artinya “coba usahakan, bila aku kembali datang di tempat ini telah dibangun sebuah kota !” (Kunto, 1984:14). Harapan atau keinginan Daendels tersebut mendorong pemerintah kabupaten Bandung untuk berbenah hingga terwujud sebuah kota. Hal ini menunjukkan, secara tersirat harapan atau perintah Daendels tersebut menunjukkan perlunya dibangun berbagai fasilitas pendukung pemerintahan di Bandung yang dapat menjadi peyangga Batavia.

Uraian tersebut menunjukkan, bahwa perintah pemindahan ibukota kabupaten yang dilalui Jalan raya Pos ke tepian jalan raya pos memiliki tujuan agar memudahkan komunikasi dan konsolidasi pemerintahan dalam menghadapi ancaman penyerangan pasukan Inggris. Selain itu, perintah pemindahan Ibukota kabupaten Bandung dari Karapyak dan harapan Daendels ketika melakukan inspeksi pembangunan jembatan Cikapundung memiliki maksud agar Bandung dipersiapkan sebagai kawasan penyangga Batavia atau dengan kata lain sebagai tempat pengungsian.

Berdasarkan alasan tersebut, pembangunan jalan raya pos yang merupakan trans Jawa pertama pada awalnya tidak diarahkan sebagai penggerak roda perekonomian, namun lebih pada alasan kepentingan militer, yaitu kelancaran transportasi dan komunikasi antar kota guna menunjang pertahanan Hindia Belanda. Fakta lain yang terlihat dari rute jalan Daendels, adalah terlihat pada rute jalan raya pos dari Batavia ke Cirebon. Pada ruas ini, rute jalan dibangun tidak tetap di sepanjang pesisir utara, namun berbelok ke selatan melalui Bogor. Dari Bogor, jalan terus dibangun menuju selatan hingga masuk ke wilayah Tatar Ukur (Bandung) walaupun medan yang dilalui lebih berat karena harus mendaki gunung dan menuruni lembah dibanding jika tetap menyusuri pesisir utara Jawa. Setelah dari Bandung, rute jalan kembali mengarah ke kota pelabuhan di pesisir utara Jawa, yaitu Cirebon.

Analisis terhadap pembangunan jalan Daendels

Uraian pada bagian terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan jalan raya pos merupakan bagian dari strategi Daendels dalam mempertahankan pulau Jawa dari serbuan pasukan Inggris. Hal ini menunjukkan pertimbangan strategi militer dalam pembangunan jalan lebih dominan dibanding pertimbangan lain, terutama pertimbangan ekonomi, walaupun pada akhirnya keberadaan jalan raya pos menunjang pertumbuhan dan perkembangan kota-kota yang dilaluinya.

Pembangunan jalan raya pos yang lebih pada pertimbangan strategi pertahanan dapat terlihat dari rute jalan yang dibangun tidak hanya menghubungkan kota-kota pelabuhan semata, namun juga menghubungkan daerah pesisir dengan pedalaman, yaitu menghubungkan Batavia yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda dan sebagai kota pelabuhan utama di pulau Jawa dengan Bandung yang berada di pedalaman pulau Jawa. Selain itu, Jalan raya pos juga menghubungkan Bandung dengan Cirebon yang merupakan kota pelabuhan pada masa itu. Sedangkan mulai dari Cirebon hingga berakhir di Panarukan, rute jalan raya pos tetap menyusuri pesisir utara pulau Jawa menghubungkan kota-kota pelabuhan.

Rute jalan raya pos di bagian barat pulau Jawa yang setelah melewati Batavia berbelok ke selatan memasuki Priangan dan terus menuju timur hingga mencapai Cirebon menunjukkan pentingnya keberadaan daerah penyangga Batavia atau daerah pengungsian yang representatif jika terjadi penyerangan oleh pasukan Inggris. Berdasarkan teori pertahanan pada masa itu, daerah ideal bagi pertahanan adalah daerah yang secara alami sulit dijangkau akibat terhalang pegunungan tinggi dengan medan terjal, karena sudah pasti musuh menyerang dari arah lautan.

Berdasarkan uraian tersebut, secara tersirat tampak bahwa Daendels menilai posisi Bandung sebagai tempat ideal bagi pengungsian, termasuk tempat pengungsian bagi pemerintahan sekaligus sebagai pertahanan terakhir Belanda di pulau Jawa. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa secara geografis letak Bandung yang berada di tengah pulau Jawa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Batavia dan secara geomorfologi berada pada zona depresi antarmontana. Zona ini berupa dataran yang luas dan berada di antara zone pegunungan utara Jawa dan zone pegunungan selatan Jawa (Bemmelen, 1949). Kedua zona pegunungan ini merupakan kawasan pegunungan yang relatif curam dan sulit dijangkau sehingga dapat menjadi benteng alam dari serangan musuh yang datang dari arah utara dan dari arah selatan. Sehingga, pertahanan cukup dikonsentrasikan di dua pintu masuk, yaitu dari arah timur dan arah barat.

Penutup

Lebih dari dua abad yang lalu, Jalan raya pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan dibangun sebagai bagian dari strategi pertahanan pemerintah Hindia Belanda dalam mempertahankan pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan pasukan Inggris yang sudah memblokade lalu lintas maritim pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya perubahan orientasi berkenaan dengan mobilitas pasukan dari mobilitas maritim ke mobilitas daratan. Perubahan orientasi ini mendorong pembukaan jalan baru yang mampu dilewati semua jenis kendaraan militer dan menghubungkan kota-kota di sepanjang pulau Jawa, tujuannya tidak lain agar mobilitas pasukan semakin tinggi serta tidak tergantung pada moda angkutan maritim.

Sebagai orang yang berpengalaman di medan perang, Daendels Melakukan pendekatan geopolik dan geostrategi ketika merencanakan membangun jalan raya Daendels, tujuannya agar bala bantuan cepat datang ketika dibutuhkan dapat segera datang serta jika terdesak pemerintah dapat segera mengungsikan roda pemerintahannya ke daerah yang lebih aman dan cukup terlindung, terutama terlindung secara alami oleh benteng-benteng alam yang sulit ditaklukkan..

Walau pada awalnya ditujukan untuk kepentingan militer, namun pada perkembangannya keberadaan Jalan Raya Pos telah menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi kota-kota yang dilaluinya, termasuk Bandung. Kota yang pada awal abad ke 18 hanyalah sebuah kampung kecil di tengah rimba belantara tropika basah, namun dalam waktu kurang dari satu abad setelah dibangunnya Jalan Raya Pos berubah menjadi kota yang memiliki fasilitas lengkap dan menjadi pusat bagi pertumbuhan kawasan pedalaman Jawa Barat. Selain itu, letaknya yang strategis menjadikan Bandung sebagai calon kuat dan satu-satunya yang direkomendasikan sebagai Ibukota Hindia Belanda mengganti Batavia. Bahkan, pada saat Negeri Belanda diduduki oleh Jerman dan pemerintah Kerajaan Belanda menjalankan roda pemerintahannya di Inggris pernah diusulkan untuk memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Belanda ke daerah milik sendiri yang jauh dari Belanda dan diusulkan Bandung sebagai Ibukota Kerajaan Belanda di pengungsian, namun sayang usulan tersebut tidak disetujui oleh Ratu Belanda dengan alasan terlalu jauh.

Daftar Pustaka

Abdurochim, I. (1986) Geografi :Latar Belakang Pemikiran dan Metoda. Bandung : Bina Bhudaya.

Toer, P.A. (2005) Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta : Lentera Dipantara

Budihardjo, E. (1991) Arsitektur dan kota di Indonesia. Bandung : Alumni

Dardjoeni, N. (1991) Dadar-dasar Geografi Politik. Bandung : Alumni

Hardjasaputra, A.S. (2000) “Bandung” dalam Lubis, N.H., et al (2000) Sejarah kota-kota lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint.

Hidayat, I.; Mardiyono (1983) Geopolitik. Surabaya : Usaha Nasional

Kunto, H. (1984) Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung : Granesia.

Kunto, H. (1986) Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung : Granesia.

Nas, P.J.M., and Pratiwo (2002) “Java and de groote postweg, la grande route, the great mail road, Jalan Raya Pos” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, On the road The social impact of new roads in Southeast Asia 158 (2002), no: 4, Leiden, 707-725. [online]. Tersedia : http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/1744/2505 [20-02-2010].