Senin, 13 Desember 2010

BANDUNG SEBAGAI IBUKOTA HINDIA BELANDA


*) Tulisan ini diterbitkan dalam buku "ARKEOLOGI MASA KINI" penerbit : Alqaprint - Jatinangor, Tahun 2010.


Oleh : Iwan Hermawan

Abstract

The city of Bandung was began when daendels built the highways postal (de groote postweg) in 1808. At that time, Bandung nowadays formely was a transferred capital from a place called Krapyak. This transformation had change Bandung become vastly developed place from a remote-tropical village to a centre of governement place in many purpose including as military based exiled capital of Netherlands kingdom.

The planing of Bandung as the Netherland Indische capital, has also encouraged the Dutch government to centralized their military forces in area nearest of Bandung, ie by making Cimahi as the center of the Dutch military, and The weapons and Munitions factories were moved to Bandung, and built the defense buildings in Sumedang.

Kata Kunci :

Kota Bandung; kolonial Belanda; bangunan pertahanan; pusat pemerintahan.

Pendahuluan

Perjalanan kota Bandung dimulai ketika Gubernur jenderal Daendels (1808-1811) merencanakan pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer di pantai barat Pulau Jawa sampai Panarukan di pantai timur Pulau Jawa pada tahun 1808. Pada masa itu, Bandung merupakan wilayah di pedalaman Pulau Jawa dan menjadi salah satu daerah yang dilalui ruas jalan tersebut. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk memperkuat pertahanan pulau Jawa dari kemungkinan serangan pasukan Inggris yang ketika itu sudah memblokade pelayaran di Laut Jawa. Sebelum pembangunan Jalan Raya Pos, kota Bandung sekarang hanyalah sebuah kampung kecil di tengah belantara hutan tropis yang dikenal dengan sebutan Tatar Ukur. Pusat pemerintahan kabupaten Bandung pada masa itu adalah Krapyak, sebuah daerah di tepi sungai Citarum sekitar 11 km arah selatan dari posisi Kota Bandung sekarang.

Keberadaan Jalan Raya Pos berhasil merubah wajah Bandung, dari sebuah kampung di tengah hutan belantara menjadi sebuah kota yang terus berkembang hingga menjadi salah satu kota besar di Indonesia. Sebuah kota yang jika dipandang dari berbagai aspek kehidupan memiliki nilai strategis, terutama secara ekonomi, politik dan militer.

Pembangunan Bandung dimulai ketika Daendels memerintahkan bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Krapyak ke tepi Jalan Raya Pos. Perintah tersebut dilaksanakan oleh bupati dengan pertama-tama mencari lahan yang tepat untuk calon ibukota yang tentunya didasarkan pada berbagai pertimbangan, termasuk perhitungan mistik. Setelah mencari lahan untuk ibukota Kabupaten Bandung yang sesuai dengan kriteria gubernur jendral dan persyaratan adat istiadat, akhirnya sebidang lahan di tepian barat Sungai Cikapundung dan di tepi selatan Jalan Raya Pos ditetapkan sebagai bakal pusat pemerintahan kabupaten Bandung.

Dorongan percepatan pembangunan Bandung untuk menjadi sebuah kota juga dilakukan Daendels ketika melakukan inspeksi pembangunan Jalan Raya Pos di sekitar pendopo kabupaten Bandung sekaligus meresmikan jembatan yang melintasi Sungai Cikapundung. Setelah berjalan menyebrangi jembatan yang baru selesai dengan diiring oleh para pejabat, termasuk bupati R.A. Wiranatakusumah II, Daendels menancapkan tongkatnya dan berkata “Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd !” (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun).

Pembangunan Bandung yang berjalan dengan pesat telah menjadikan kota ini menjadi salah satu kota strategis di Hindia Belanda, statusnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Mulai dari ibukota kabupaten Bandung, kemudian meningkat menjadi Ibukota Karesidenan Priangan, dan ditingkatkan kembali menjadi Gemeente (kota), Stadsgemeente (kota besar), serta diproyeksikan untuk menjadi Ibukota Hindia Belanda, bahkan pernah diwacanakan untuk menjadi ibukota kerajaan Belanda di pengasingan saat Negeri Belanda berada di bawah pendudukan pasukan Nazi Jerman. Berbagai fasilitas pendukung sebuah kota terus didirikan guna melengkapi kota ini, terutama fasilitas permukiman, gedung perkantoran, kesehatan, perekonomian, dan pendidikan.

Kondisi inilah yang menjadi perhatian penulis dalam mengungkap latar belakang direkomendasikannya Bandung sebagai calon ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia yang dianggap sudah tidak layak sebagai pusat pemerintahan. Untuk menggali data dan informasi yang diperlukan, penulis melakukan studi literatur terhadap berbagai literatur yang berhubungan dengan Sejarah dan Geografi Kota Bandung. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis secara keruangan sesuai dengan fokus perhatian tulisan ini.

Dari Ibukota Kabupaten ke Ibukota Nusantara

Pembangunan kota Bandung dimulai pada zaman pemerintahan gubernur jenderal Daendels, tepatnya ketika Daendels mengeluarkan perintah kepada Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Krapyak (sekarang dikenal dengan nama Dayeuhkolot) ke dekat Jalan raya Pos. Perintah Daendels tersebut disampaikan melalui Surat tertanggal 25 Mei 1810 (Hardjasaputra, 2000).

Perintah pemindahan ibukota kabupaten tersebut, dilaksanakan oleh bupati Bandung dengan langkah nyata, yaitu dengan membangun sarana prasarana penunjang ibukota pemerintahan. Sebelum menempati pendopo yang terletak di tepi barat sungai Cikapundung dan sisi selatan jalan raya Pos, Bupati R.A.Wiranatakusumah II pernah tinggal di Cikalintu (sekarang adalah daerah Cipaganti) dan membangun masjid kaum Cipaganti, kemudian pindah ke kampung Balubur hilir, dan selanjutnya pindah ke Kampung Bogor (sekarang dikenal dengan nama Kebonkawung) yang jaraknya tidak terlalu jauh dari jalan raya pos dan proyek pembangunan pusat pemerintahan kabupaten Bandung. Secara resmi perpindahan Ibukota Kabupaten Bandung dari Krapyak ke Bandung dilaksanakan pada tanggal 25 September 1810 (Hardjasaputra, 2000:121-122).

25 Mei 1810

Pemindahan Ibukota Kabupaten Bandung dan Parakanmuncang

Setelah memberitahukan dengan surat kepada penguasa Jakarta dan daerah pedalaman Priangan, bahwa ia telah mendengar ketika mengadakan inspeksi yang terakhir, bahwa ibukota Bandung dan Parakanmuncang terletak jauh dari jalan yang baru, sehingga pekerjan pembuatan jalan itu terlambat, oleh karena itu diusulkan untuk memindahkan ibukota tersebut, yaitu (ibukota) Bandung ke Cikapundung dan (ibukota) Parakanmuncang ke Andawadak, kedua tempat itu terletak di jalan besar dan selain itu sangat cocok dan disamping pemindahan yang telah disebutkan juga mengenai beberapa tanaman-tanaman akan dapat ditingkatkan karena lahan yang diusulkan menjadi ibukota dan sekitarnya sangat subur; bilamana keputusan usul mengenai pemindahan ibukota Bandung ke Cikapundung dan Parakanmuncang ke Andawadak tersebut diterima, mohon paduka memberikan otorisasi dan perintah yang harus dilaksanakan.

H.W. Daendels

(Sumber : Hardjasaputra, 2000 : 121)


Sejak selesai dibangunnya Jalan Raya Pos dan ibukota Kabupaten Bandung pindah dari Krapyak ke Bandung, pembangunan di segala bidang tiada berhenti walau sesaat. Setelah Inggris meninggalkan pulau Jawa, kedudukan daerah Priangan yang subur makmur semakin penting bagi perekonomian pemerintah kolonial sehingga berbagai fasilitas pendukung sebuah kota terus dibangun untuk memenuhi berbagai kebutuhan penghuninya. Pembangunan tersebut telah merubah wajah Bandung dari sebuah kampung yang berada di pedalaman hutan belantara menjadi sebuah kota yang strategis dan impian setiap orang.

Melihat posisi Bandung yang semakin strategis, pada tahun 1819, Dr. Andries de Wilde mengajukan saran kepada pemerintah Belanda agar ibukota Karesidenan Priangan dipindah dari Kabupaten Cianjur ke Kabupaten Bandung. Alasan pemindahan ibukota tersebut adalah agar dapat memberikan dampak positif dan mempermudah usaha pengembangan wilayah pedalaman Priangan. Usulan tersebut baru direspon oleh pemerintah pada tahun 1856, setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Charles Ferdinand Pahud, memerintahkan pemindahan Ibukota karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung. Perintah pemindahan tersebut baru dilaksanakan oleh residen Priangan, Van der Moore, pada tahun 1864 bertepatan dengan meletusnya Gunung Gede yang menggoncang Cianjur (Kunto, 1984:17-18).

Peningkatan status kota Bandung kembali terjadi, yaitu menjadi kotapraja (Gemeente) pada tanggal 1 April 1906. Peningkatan status ini didasarkan pada Undang-undang Desentralisasi(Decentralisatiewet) yang dikeluarkan pada tahun 1903; keputusan tentang Desentralisasi(Decentralisasi Besluit), dan Ordonansi Dewan Kota (Locale Raden Ordonantie) yang dibuat tahun 1905. Penetapan status kota Bandung menjadi Gemeente semakin memperkuat fungsinya sebagai pusat pemerintahan, terutama pemerintahan kolonial Belanda. Pada awalnya Gemeente dipimpin oleh Asisten Residen Priangan selaku pimpinan Dewan kota (Gemeenteraad), namun sejak tahun 1913Gemeente dipimpin oleh seorang burgemeester atau walikota (Kunto, 1986:122; Hardjasaputra, 2000:128). Pada tanggal 1 Oktober 1926, Kota Bandung kembali meningkat statusnya menjadiStadsgemeente. Dengan status baru tersebut, Bandung diberi wewenang untuk mengelola kota dan mengurus pemerintahannya sendiri (Kunto, 1986:122).

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921), timbul gagasan untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gagasan tersebut bermula dari hasil studi tentang kesehatan kota-kota pantai di pulau Jawa oleh H.F. Tillema, seorang Ahli Kesehatan Lingkungan yang bertugas di Semarang. Hasil Studi tersebut menyimpulkan “Kota-kota Pelabuhan di pantai Jawa yang tidak sehat, menyebabkan orang tidak pernah memilih sebagai kedudukan Kantor pemerintah, Kantor Pusat Niaga dan Industri, Pusat Pendidikan dan sebagainya”. Hasil penelitian tersebut tidak mengecualikan Batavia, kota pelabuhan ini kurang memenuhi persyaratan sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda. Pada rekomendasi akhirnya, H.F. Tillemamerekomendasikan agar kota Bandung dipilih sebagai Ibukota Hindia Belanda yang baru menggantikan Batavia (Kunto, 1984: 248-249).

Usul pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung mendapat dukungan dari Prof. Ir. J Klopper, Rektor Magnificus Bandoengsche Technische Hoogeschool (sekarang dikenal dengan nama ITB) dan mulai dilaksanakan pada tahun 1920. Mulai saat itu, perpindahan kantor pemerintah dan Swasta dari Batavia ke Bandung mulai dilaksanakan. Instansi pemerintah yang memindahkan kantor pusatnya ke Bandung adalah Jawatan Kereta Api Negara (SS); P.T.T.; Departement van Geouvernements Bedrijven (GB) yang membawahi Dinas Pekerjaan Umum (BOW), Jawatan Metrologi (Tera), Jawatan Geologi dan sebagainya pindah dari Weltevreden (Gambir), Batavia pada tanggal 1 Januari 1921. Departement GB menempati Gedung Sate, sebuah bangunan yang dibangun dengan memakan biaya sebesar enam juta gulden dan dirancang oleh arsitek J. Gerber. Gedung ini merupakan gedung pemerintahan yang dianggap paling representatif di Hindia Belanda. Perpindahan tersebut disusul oleh pindahnya sebagian Departemen Perdagangan dari Bogor, Kantor Keuangan, Lembaga Cacar yang bergabung dengan Institut Pasteur yang telah berada di Bandung. Guna memperkuat pertahanan kota Bandung, Kementrian Pertahanan (Departement van Oorlog/DVO)secara bertahap telah memindahkan personilnya sejak tahun 1916 dan mulai menetap di Bandung pada tahun 1920 (Kunto, 1984:250-251). Selain itu, secara bertahap mulai tahun 1898 pabrik mesiu di Ngawi dan Pabrik Senjata atau Artillerie Constructie Winkel (ACW) di Surabaya dipindahkan ke Bandung. Pemindahan ini secara keseluruhan selesai pada tahun 1920. (Kunto, 1984:163-164).

Sebagai kota yang disiapkan sebagai Ibukota Hindia Belanda, Bandung melengkapi dirinya dengan Museum Geologi yang dipindah dari Batavia pada tahun 1924. Pada awalnya, Museum tersebut menumpang di Gedung Sate, baru pada tanggal 16 Mei 1929 diresmikan gedung baru yang tidak jauh dari Gedung Sate (sekarang adalah Gedung Museum Geologi). Selain itu, didirikan juga Museum Pos dan Tilpon atau Museum PTT yang menempati salah satu ruang di Gedung Sate (Kunto, 1984:253-254). Kedua Museum tersebut dibangun untuk melengkapi kantor pusat instansi mereka (Jawatan Geologi dan PTT) yang pindah dari Batavia ke Bandung.

Pada tahun 1920 Belanda menentukan Kampung Andir yang letaknya sebelah Barat dari kota Bandung sebagai lokasi lapang terbang baru menggantikan lapangan terbang di Sukamiskin. Alasan pemindahan adalah karena lapangan terbang Sukamiskin letaknya terlalu jauh dari kota Bandung dan secara teknis tanahnya terlalu banyak mengandung air. Pada tahun 1925, pemindahan lapangan udara dari Sukamiskin ke Andir selesai dan tanggal 26 Oktober 1925 resmi dipakai. Pada tahun 1928 di Hindia Belanda didirikan Koninkelijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM), yaitu Perusahaan Penerbangan Kerajaan Hindia Belanda. Rute penerbangan Batavia - Bandung dan Batavia - Semarang dibuka mulai 1 November 1928. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1930 lapangan terbang Andir dijadikan rute akhir bagi penerbangan Belanda - Hindia Belanda. (Koesman, 2002). Rute penerbangan dari Bandung ke Surabaya, Semarang, Palembang dan Singapura dimulai pada tahun 1930 (Kunto, 1986: 259). Uraian tersebut menunjukkan, lapangan terbang Andir sebagai salah satu lapangan terbang yang memiliki posisi penting di Hindia Belanda.

Setelah dihubungkan dengan transportasi udara, hubungan komunikasi radio mulai dikembangkan di Bandung khususnya dan di Hindia Belanda pada umumnya. Hubungan komunikasi radio dari Hindia Belanda ke Negeri Belanda secara resmi dibuka pada tanggal 5 Mei 1923. Hubungan tersebut dilakukan melalui Stasiun Pemancar Radio yang dibangun di lereng gunung Malabar, sedangkan hubungan Radio Telepon dalam negeri dipancarkan melalui stasiun pemancar yang dibangun di Rancaekek (Kunto, 259-262).

Kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda baru pindah ke Bandung pada awal Maret 1942, ketika posisi Belanda di Batavia sudah terdesak oleh Jepang. Melalui perjanjian di Kalijati, Subang pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal Tjarba van Starkenburg Stakhouwer dan Letnan Jenderal Ter Poorten dilakukan pada tanggal 10 Maret 1942 di Balai Kota Bandung. Sesaat setelah penyerahan kedaulatan, kedua petinggi Belanda tersebut langsung ditawan Jepang dan dikirim ke Formosa (Taiwan) dan akhirnya ke Manchuria (Darsoprajitno, 06-01-2004).

Fakta lain berkenaan dengan pentingnya posisi Bandung namun tidak banyak diketahui dan dipublikasikan, adalah usulan menjadikan Bandung sebagai Ibukota Kerajaan Belanda di pengasingan. Setelah beberapa waktu memimpin pemerintahan Belanda di pengasingan di London, pada bulan Mei 1940 Ratu Wilhelmina disarankan oleh anggota kabinet Belanda, De Geer, untuk mempertimbangkan pemindahan pemerintah kerajaan Belanda dari London ke daerah Belanda sendiri, tepatnya ke Hindia Belanda. Adapun tempat yang direkomendasikan untuk dijadikan sebagai ibukota adalah Kota Bandung dengan alasan Iklimnya mendukung sebagai pusat pemerintahan. Namun sayang, Ratu Wilhelmina keberatan atas usul tersebut dengan alasan : (1) masalah kesehatan, karena secaralangsung pindah ke daerah tropis untuk waktu yang tidak menentu terlalu riskan; (2) secara strategis dan psikologis keberadaannya di London yang letaknya tidak jauh dari Belanda menjadikan Ratu tetap dapat memonitor perkembangan negeri dan rakyatnya; (3) kedudukan London sebagai basis utama kekuatan sekutu sangat menguntungkan bagi Belanda karena Belanda merupakan bagian dari Sekutu (Koesman, 2002).

Pertahanan Hindia Belanda

Mempersiapkan Bandung sebagai pengganti Batavia sebagai ibukota Hindia Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Gubernur Jenderal H.W. Daendels, yaitu dengan menjadikan Bandung sebagai salah satu daerah yang dilalui oleh rencana pemangunan Jalan Raya Pos walaupun posisi Bandung berada di bagian tengah pulau Jawa, bukan daerah pesisir utara pulau Jawa. Kondisi tersebut menunjukkan, sebagai seorang yang berpengalaman dalam berperang, Daendels memandang posisi Bandung yang kala itu masih berupa hutan belantara sebagai posisi yang ideal sebagai pusat pemerintahan pengganti Batavia di masa depan.

Sejarah membuktikan, pasukan Hindia Belanda yang dikonsentrasikan di kota Pantai, yaitu di Batavia, Semarang, dan Surabaya dengan mudah dapat dipatahkan musuh. Hal ini terlihat ketika armada pasukan Inggris yang dipimpin Lord Minto menyerbu Batavia (4 Agustus 1811) berhasil mengalahkan kekuatan militer Belanda dengan tanpa perlawanan berarti. Pengalaman tersebut melahirkan rencana besar dalam pembangunan militer Hindia Belanda, yaitu memindahkan pangkalan militer Belanda dari daerah pantai ke daerah pedalaman. Adapun daerah yang dipilih sebagai pangkalan militer jaraknya harus dekat dengan Ibukota namun sulit dijangkau musuh (Kunto, 1984:162).

Setelah melalui berbagai pertimbangan maka pada tahun 1896 dipilih Cimahi sebagai Pusat Militer Belanda. Pemilihan tersebut terutama didasarkan pada letak geografis Cimahi yang strategis, yaitu tidak terlalu jauh dari Batavia serta dikelilingi pegunungan tinggi dan terjal. Selain itu, Cimahi berdekatan dengan persimpangan dua jalan penghubung Bandung – Batavia, yaitu Jalan Kereta Api dan dan Jalan Raya Pos. Cimahi berada dekat dengan pertemuan Jalan Kereta Api Bandung – Batavia melalui Cianjur dan jalur Kereta Api Bandung – Batavia melalui Purwakarta. Selain itu, Cimahi juga dekat dengan simpang Jalan Raya Bandung – Batavia melalui Cianjur atau jalan raya pos serta Jalan Raya Bandung – Batavia melalui Purwakarta.

Peresmian Cimahi sebagai Garnisun Militer dilakukan pada bulan September 1896 dengan komandan pertamanya Mayor Infanteri CA van Loenen dan ajudannya Luitenan JA Kohler. Keberadaan pusat pertahanan tersebut didukung oleh keberadaan pabrik senjata yang dibangun di kawasan Bandung (Kunto, 1984:163-164). Untuk memperkuat pertahanan, Cimahi juga dihubungkan jalur Jalan Kereta Api dengan pusat pertahanan Belanda di Samudera Hindia, yaitu Cilacap.

Kebijaksanaan pertahanan Hindia Belanda dapat diketemukan pada Pokok-pokok Dasar Pertahanan yang berlaku mulai tahun 1927. Pada prinsipnya tentara Belanda di dalam kebijaksanaan tersebut lebih ditekankan pada tugas "rust en orde" yaitu penegakan keamanan dan ketertiban di dalam negeri sedangkan pertahanan menghadapi serangan dari luar kurang mendapat perhatian. Belanda nampaknya akan berlindung pada kekuatan Sekutu yaitu Inggris dan Amerika, sehingga keberadaan lapangan terbang Andir lebih difokuskan untuk kepentingan penerbangan sipil. Baru pada tahun 1939 dengan meningkatkan perkembangan politik di Eropa dan Asia, Belanda menyadari perlunya peninjauan kembali kebijakan pertahanan yang telah ada. Salah satunya adalah kekuatan udara perlu dijadikan kekuatan pokok disamping kekuatan laut, sehingga perlu dikembangkan system pertahanan udara. Kebijakan ini menjadikan keberadaan lapangan udara Andir semakin penting karena selain sebagai lapangan terbang sipil juga berfungsi sebagai pangkalan militer. Kondisi ini semakin memposisikan lapangan terbang Andir sebagai salah satu lapangan terbang terpenting di Hindia Belanda (Koesman, 2002). Melalui lapangan terbang ini, evakuasi pejabat militer dan sipil Belanda ke Australia dilakukan ketika posisi Belanda semakin terdesak oleh Jepang serta pulau Jawa tidak mungkin untuk tetap dipertahankan.

Menyadari keberadaan lapangan udara Andir akan menjadi target penyerangan musuh jika terjadi peperangan, Belanda juga mempersiapkan landas pacu cadangan yang berada di luar lapangan udara Andir namun posisinya tidak jauh dari pusat kota Bandung. Landas pacu tersebut harus tersamar agar musuh tidak mudah diketahui musuh. Adapun ruas jalan yang dimaksud adalah jalan Buahbatu, yaitu ruas jalan penghubung kota Bandung dengan kawasan pinggirannya. Jalan tersebut dibangun memanjang membelah persawahan kota Bandung.

Sejarah mencatat, ketika Belanda semakin terdesak dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, Letnan Jenderal HW Van Mook didampingi perwira intelejen Mayor S.H. Spoor melarikan diri ke Australia dengan pesawat Dakota yang tinggal landas di Jalan Buah Batu karena takut akan pembalasan Jepang (Darsoprajitno, 06-01-2004). Penggunaan jalan buah batu sebagai landas pacu ketika Van Mook keluar dari Bandung, adalah karena landas pacu lapangan udara Andir tidak dapat didarati pesawat akibat gempuran pasukan Jepang. Pelarian Van Mook dan pejabat Belanda lainnya ke Australia dilakukan karena secara realistis sudah tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan bala tentara Jepang (The Glasgow Herald, 11-03-1942).

Untuk memperkuat pintu masuk Bandung dari arah timur, Belanda membangun basis pertahanan di wilayah Sumedang, sekitar 45 km timur Bandung. Hal ini terlihat dari tinggalan-tinggalan sejarah yang masih bisa dijumpai hingga saat ini, yaitu berupa bangunan-bangunan pertahanan di Gunung Palasari, Gunung Kunci, dan Gunung Gadung/Pasir Laja yang dibangun antara tahun 1914-1918 (Abrianto, 2007).

Bangunan pertahanan di Gunung Palasari berada pada ketinggian 675 mdpl, dibuat di atas permukaan tanah dengan konstruksi beton bertulang dengan ketebalan rata-rata 0,80 m. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan atau gudang serta sebagai asrama atau barak prajurit; Bangunan pertahanan Gunung Kunci atau Panjoenan, berdiri di puncak sebuah bukit pada ketinggian 500 mdpl. Sebagian bangunan ini berada di dalam tanah dan sebagian lagi di permukaan tanah serta dibuat dengan konstruksi beton bertulang dengan ketebalan rata-rata 0,80 m – 1,60 m. Bangunan pertahanan ini berfungsi sebagai bangunan pertahanan sekaligus sebagai asrama atau barak prajurit serta gudang. Orientasi pertahanan bangunan ini, adalah selatan, barat, dan timur; Bangunan pertahanan di Gunung Gadung atau Pasirlaja, merupakan bangunan pertahanan yang berada pada ketinggian 718 mdpl dan dibangun di bawah permukaan tanah dengan konstruksi beton cor bertulang dan mempunyai ketebalan dinding rata-rata 0,5 – 1,50 m. Bangunan ini berfungsi sebagai pertahanan, gudang/penyimpanan dan barak atau asrama prajurit (Abrianto, 2007).

Letak ketiga bangunan pertahanan tersebut tidak jauh dari Jalan Raya Pos dan orientasi pertahanannya adalah jalan raya tersebut serta fungsinya sebagai markas pasukan dan gudang penyimpanan. Kondisi ini menunjukkan ketiga bangunan pertahanan tersebut merupakan pusat pertahanan pasukan Belanda guna menghambat laju pergerakan militer musuh yang berusaha masuk kota Bandung dari arah timur.

Posisi Strategis Bandung

Pemindahan ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung yang direkomendasikan oleh Tillema dan mendapat apresiasi dari pemerintah Belanda menunjukkan Bandung mempunyai kedudukan yang strategis dibanding kota lainnya di pulau Jawa. Hal ini didasarkan pada Iklim di Bandung yang lebih sejuk dibanding Batavia, serta lingkungannya yang lebih sehat dibanding kota-kota pantai. Udara panas di kota-kota pantai dapat mengakibatkan orang cepat lelah dan semangat kerja menurun. Kondisi tersebut berbeda jika ibukota pemerintahan berada di daerah sejuk dimana orang tidak cepat lelah dan semangat kerja tetap bisa terjaga. Selain itu, semangat untuk memindahkan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke kota Bandung semakin meningkat setelah Inggris memindahkan Ibukota daerah koloninya di India dari Calcuta ke New Delhi yang berada di daerah pedalaman.

Alasan lain yang menjadi dasar pemindahan ibukota Hindia Belanda ke kota Bandung adalah letak geografis Kota Bandung. Secara geografis, Kota Bandung tidak jauh dari Batavia dan secara geomorfologis berada pada zona depresi antar montana yang merupakan pemisah antara zona pegunungan utara pulau Jawa dengan zona pegunungan selatan pulau Jawa, sehingga topografinya berupa cekungan dengan dataran yang luas di tengah dan dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan di sekelilingnya (Bemmelen, 1949).

Keberadaan pegunungan, perbukitan tinggi dan terjal serta lembah-lembah dalam yang mengelilingi Bandung merupakan keuntungan tersendiri karena bukit, gunung dan lembah merupakan benteng alam yang kokoh melindungi dari serbuan musuh. Selain itu, akses masuk kota Bandung terbatas, yaitu hanya melalui Jalan Raya Anyer – Panarukan (Jalan Raya Pos) yang membentang dari Barat ke Timur membelah dataran Bandung. Terbatasnya akses masuk menjadikan pengelolaan pertahanan kota dapat dikelola dengan lebih baik, karena pemusatan pasukan pertahanan hanya difokuskan di kedua pintu masuk, yaitu di sebelah Barat dan Timur kota Bandung. Di sebelah barat, Belanda membangun pusat militer di Cimahi dan di sebelah timur dibangun benteng-benteng pertahanan di Sumedang.

Keadaan dunia yang masa itu sedang diliputi oleh peperangan, menjadikan posisi strategis secara militer menjadi pertimbangan dalam menentukan ibukota pemerintahan di banyak negara. Kota yang dipilih sebagai pusat pemerintahan, adalah kota yang secara militer berada pada posisi strategis, yaitu berada di daerah yang secara alami terlindung dan mudah dipertahankan, namun sulit dijangkau musuh.

Penutup

Ketika Daendels membangun Jalan Raya Pos, Bandung hanyalah sebuah kampung kecil di tengah belantara tropik pulau Jawa. Daendels berharap di Bandung berdiri sebuah kota dan harapan itu terwujud. Dalam waktu kurang dari lima puluh tahun, Bandung telah menyandang dua fungsi, yaitu ibukota Kabupaten Bandung dan ibukota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur. Memasuki abad ke duapuluh, status Bandung kembali meningkat menjadi sebuah kotapraja (Gemeente) dan terus meningkat menjadi kota dengan status Stadsgemeente seiring dengan semakin maraknya pembangunan di kota ini.

Kemajuan pembangunan infrastruktur di kota Bandung dan letaknya yang strategis, serta kondisi iklimnya yang sejuk telah menjadikan kota ini satu-satunya yang direkomendasikan sebagai ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia yang pada saat itu kondisinya dianggap sudah tidak layak sebagai ibukota. Usulan tersebut disambut pemerintah dengan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur yang diperlukan guna mendukung sebuah ibukota negara, bahkan kekuatan militer Belanda juga ikut pindah ke sekitar Bandung dan dipusatkan di Cimahi.

Setelah menunggu lebih dari duapuluh tahun sejak kota Bandung direkomendasikan menjadi Ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia, kantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda akhirnya pindah ke Bandung pada awal Maret 1942, ketika posisi Belanda di Batavia sudah terdesak oleh Jepang. Namun sayang, kedudukan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda hanya berlangsung beberapa hari, karena pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Jepang dilakukan di Bandung, tepatnya di gedung Balaikota Bandung (gedung Papak) pada tanggal 10 Maret 1942. Hal ini menunjukkan, secara de facto walau hanya beberapa hari Bandung telah menjadi Ibukota Hindia Belanda menggantikan Batavia.

Daftar Pustaka

Abrianto, O. 2007. Laporan Hasil penelitian Arkeologi Bangunan Pertahanan Masa Kolonial di Kabupaten Sumedang. Bandung : Balai Arkeologi Bandung (Tidak diterbitkan).

Affandie, R.M.A., 1969. Bandung Baheula 1-2. Bandung : Guna Utama

Bemmelen, R.W.V. 1949. The geology of Indonesia, The Hague : Martinus Nijhoff.

Daldjoeni, N. 1988. Geografi Kota dan Desa. Bandung : Alumni.

Daldjoeni, N. 1988. Geografi Kesejarahan 1-2. Bandung : Alumni.

Daljoeni, N. 1991. Dasar-dasar Geografi Politik. Bandung : Alumni.

Darsoprajitno, S. 2004. Mengenang KAA, Merestorasi Bangunan Lama”. Pikiran Rakyat (06-01-2004).

Hardjasaputra, A.S. 2000. Bandung dalam : Lubis, N.H., dkk. (2000) Sejarah Kota-kota lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint.

Koesman, H. Aboeng. 2002, “IPTN : Harapan dan Tantangan” dalam http://www.indonesian-aerospace.com/book/d02.htm [diakses tanggal : 28-03-2010].

Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandung Tempo Doeloe. Bandung : Granesia

Kunto, Haryoto. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung : Granesia

The Glasgow Herald. Mar 11, 1942Dutch Still Fighting in Java, Dr. Van Mook on Lesson for Australia” dalam http://news.google.com/newspapers [diakses tanggal : 06-04-2010].

Rosidi, A. ed. 2000. Ensiklopedi Sunda . Jakarta : Pustaka Jaya

Sumaatmadja, N. 1988. Studi Geografi, Suatu pendekatan dan Analisa Keruangan.. Bandung : Alumni.

Senin, 06 Desember 2010

BANDUNG PERNAH JADI IBUKOTA NAGARA

Iwan Hermawan

Bubuka

Dina danget ieu muncul wacana pikeun mindahkeun ibukota nagara ti Jakarta ka luar kota atawa ka luar pulo Jawa sabab dianggap geus teu cocok pikeun pusat pamarentahan. Kamacetan lalu lintas geus jadi bagean tina kahirupan wargana, pon kitu deui banjir geus jadi langganan lamun hujan. Lian ti eta, kondisi geologi pulo Jawa anu labil nyababkeun Jakarta teu leupas tina ancaman lini.

Wacana pikeun mindahkeun ibukota nagara ti Jakarta sabenerna geus muncul ti jaman kolonial Walanda. Tahun 1916 hasil panalungtikan HF Tillema, ahli kasehatan ti Semarang nunjukkeun yen Batavia (Jakarta ayeuna) sacara kasehatan geus teu layak jadi puseur pamarentahan Hindia Walanda. Manehna ngarekomendasikeun Bandung pikeun puseur pamarentahan sabab leuwih sehat tinimbang Batavia, lian ti eta Bandung masih deukeut jeung Batavia dibanding kota sejenna. Nya ti harita mimiti disiapkeun Bandung pikeun puseur pamarentahan, gedong-gedong pamarentahan hiji-hiji diwangun. Sanggeus beres, sawatara kantor pamarentah jeung kantor pausahaan swasta mimiti parindah ti Batavia ka Bandung.

Daendels nyiapkeun Bandung pikeun Puseur Pamarentahan

Sanggeus ngaliwatan perjalanan panjang, tanggal 5 Januari 1808 Daendels turun di palabuhan Anyer, henteu di Batavia. Manehna milih neruskeun perjalanan ka Batavia liwat darat dibanding laut, sabab ngahindar tina blokade Inggris. Perjalanan ti Anyer ka Batavia dilakukeun Daendels make kareta kuda anu meakeun waktu salila opat poe. Datangna Daendels ka pulo Jawa mawa pancen ti Raja Walanda harita, Louis Napoleon, pikeun jadi Gupernur Jenderal Hindia Walanda. Salah sahiji pancen anu diembanna nyaeta mertahankeun pulo Jawa sangkan henteu nepi ka rag-rag kana kakawasaan Inggris.

Salaku prajurit anu loba pangalaman di medan perang, Daendels nganggap posisi Batavia anu di sisi laut kurang aman sabab gampang diserang Inggris. Keur mertahankeun pulo Jawa manehna marentahkeun nyieun jalan raya pos anu ngahubungkeun kota-kota palabuhan di pulo Jawa. Tujuanna ngarah lalu lintas pasukan leuwih gancang lamun Inggris jadi nyerang pulo Jawa, sabab moal mungkin menta bantuan atawa ngirim pasukan ka tempat perang ngagunakeun jalur laut anu harita masih diblokade.

Salah sahiji wilayah anu diliwatan jalan raya pos nyaeta Bandung anu posisina di tengah-tengah pulo Jawa, diapit ku dua jalur pagunungan pulo Jawa, nyaeta pagunungan kaler jeung pagunungan kidul pulo Jawa. Tangtu aya hiji alesan kunaon Jalan raya Pos dipengkolkeun heula ka tengah ngaliwatan Bandung terus ka cirebon, anu aya di basisir kaler. Ti Cirebon nepi ka Panarukan, jalan raya pos mapay basisir kaler pulo Jawa ngaliwatan kota-kota palabuhan sapanjang pulo Jawa. Numutkeun nu nulis, Daendels ngaliwatkeun jalan raya pos ka Bandung pikeun strategi pertahanan. Bandung anu aya di daerah pagunungan ngarupakeun daerah anu cocok pikeun panyumputan atawa pangungsian lamun Batavia anu ngarupakeun puseur pamarentahan Hindia Walanda diserang Inggris. Hal ieu disababkeun, Bandung teu pati jauh ti Batavia, daerahna nyumput dihalangan ku benteng alam, sarta gampang dipertahankeun dimana akses ka Bandung saukur ngaliwatan jalan raya pos.

Numutkeun paparan di luhur, tetela jauh samemeh Tillema mere rekomendasi pikeun mindahkeun puseur pamarentahan ti Batavia ka Bandung, Daendels geus boga niatan pikeun mindahkeun puseur pamarentahan ti Batavia ka tempat anu leuwih aman sacara militer namung jarakna teu pati jauh ti Batavia.

Bandung jadi Ibukota

Tanggal 25 September 1810 jadi tonggak sajarah pikeun kabupaten Bandung, sabab dina tanggal eta ibukota kabupaten Bandung resmi pindah ti Krapyak (Dayeuhkolot) ka sisi walungan Cikapundung kiduleun Jalan Raya Pos. Ti saprak harita Bandung robah beungeut, kampung leutik tengah leuweung jadi puseur dayeuh, Ibukota kabupaten Bandung. Taun 1854 setatus Bandung naek jadi ibukota Karesidenan Priangan, terus robah deui jadi gemeente (kotapraja) dina tahun 1906. Setatus ieu terus undak nepi puncakna rencana Gubernur Jenderal Hindia Walanda boga niat hayang ngantor di Bandung nurutkeun kana saran HF. Tillema.

Taun 1920an, wangunan keur pikantoreun pamarentah Hindia Walanda geus jlug-jleg nangtung kalawan gagah anu saterusna dipungsikeun pikeun nampung departemen-departemen pindahan ti Batavia. Najan sabagian gede kantor-kantor pamarentah geus pindah ka Bandung, hanjakal Bandung henteu sacara resmi dijadikeun pusat pamarentahan sabab Gupernur Jenderal Hindia Walanda masih betah cicing jeung ngantor di Batavia.

Jauh samemehna, dina ahir abad ka 19 pamarentah Hindia Walanda ngajadikeun Bandung sabage pusat pertahanan. Pusat Militer diwangun di Cimahi, pabrik senjata jeung mesiu dipindahkeun ka Kiaracondong Bandung, sarta lapang udara Andir boga pungsi ganda nyaeta sabage lapang udara militer jeung lapang udara sipil. Hal ieu nunjukkeun, yen pamarentahan Walanda harita memang geus mimiti tatahar lamun Bandung rek dijadikeun gaganti Batavia.

Sanajan Gupernur Jenderal Hindia Walanda, sacara resmi henteu ngantor di Bandung namung dina panungtung kakawasaanna Bandung dijadikeun pangungsian pusat pamarentahan Hindia Walanda. Sajarah nyatet, dina awal bulan Maret 1942 waktu posisi Walanda di Nusantara geus beuki kadeseh ku Jepang, kantor Gupernur Hindia Walanda ahirna diungsikeun ka Bandung. Ngaliwatan Perjanjian Kalijati, subang tanggal 8 Maret 1942, Walanda serah bongkokan ka Jepang. Serah tarima kakawasaan ti pamarentah Walanda anu diwakilan ku Gubernur Jenderal Tjarba van Starkenburg Stakhouwer dan Letnan Jenderal Ter Poorten ka pamarentah Jepang dilakukeun di gedong Papak atawa Bale kota Bandung ayeuna dina tanggal 10 Maret 1942. Sanggeus nyerahkeun kaulatan, harita keneh dua panggede Walanda dicerek Jepang terus dikirim ka Formosa, anu ahirna ka Manchuria. Panggede Walanda anu teu kacerek Jepang, nyaeta Letnan Jenderal HW. Van Mook jeung perwira intelejen Mayor SH Spoor. Maranehna bisa lolos ka Ustrali dina tanggal 8 Maret 1942 make kapal Dakota anu leupas landasna ti Jalan Buahbatu. Hal ieu nunjukkeun, Bandung pernah ngasaan dijadikeun pusat pamarentahan Hindia Walanda najan ukur kurang leuwih sapuluh poe.

Tina paparan di luhur bisa ditarik kasimpulan, yen munculna rencana mindahkeun Ibukota ti Batavia ka Bandung disababkeun sababaraha alesan anu aya kaitanna jeung kondisi lingkungan geografi Bandung jeung paktor kaamanan, diantarana : Kondisi cuaca jeung Iklim Bandung ngadukung pikeun kantor pamarentahan; Kondisi bentang alam oge ngadukung pikeun pertahanan, dimana Bandung dikurilingan benteng alam nyaeta dua pagunungan luhur anu hese diliwatan jadi pertahanan bisa dipokuskeun di jalan asup ka Bandung.

Lamun disaruakeun jeung wacana mindahkeun Ibukota ti Jakarta ka luar Jakarta anu keur rame ayeuna, alesanna sarua nyaeta Jakarta geus teu layak jadi Ibukota Nagara. Nu ngabedakeun lamun baheula Batavia dianggap geus teu layak jadi ibukota Hindia Walanda alesanna Kasehatan jeung kaamanan; sedengkeun ayeuna Jakarta dianggap geus teu cocok jadi ibukota RI sabab geus rame teuing ku aktipitas kahirupan, macet di mana-mana, lian ti eta Jakarta teu bebas tina lini.

(Tina Rupa-rupa Sumber).

Rabu, 13 Oktober 2010

NILAI STRATEGIS JALAN DAENDELS BAGI PERTAHANAN HINDIA BELANDA DI PULAU JAWA (Kajian Geografi Sejarah)

Oleh : Iwan Hermawan

(Tulisan ini diterbitkan dalam buku : Dari Masa Lalu ke Masa Kini, Kajian Budaya Materi, Tradisi, dan Pariwisata. Editor : Wanny Rahardjo Wahyudi. Penerbit : Alqaprint, Jatinangor - Balai Arkeologi Bandung, 2010)

Abstrak

De groote postweg or the road of Daendels is the first longest highway in Indonesia. The road is built during the reign of the Governor-General Herman Willem Daendels. This road runs along on the north coast of Java Island, from Anyer to Panarukan. It is aimed to strengthen the Dutch East Indies, especially Java Island from British troops attack.

Based on the road-building goals is to strengthen the defense, the consideration of military strategy is more prominent than any other consideration. This can be seen from the route of the road which turn to south after through Batavia and go to Bandung. After Bandung, the route of the road goes to east to end at Cirebon. From Cirebon to Panarukan, the route of the highway leading north coast to go down the north coast Java. Other fact showed more prominent military considerations, is the command of Daendels to all the regents in the along highway Which the centre of district is far from the road project,they must move the district capital to the area near of the road project. Subsequent developments, de groote postweg have strategic value in economic development, especially for the growth and development of cities in the island of Java.

Kata Kunci :

Jalan Raya Pos, Strategi Militer, Kota Bandung

Pendahuluan

Komunikasi dan transportasi merupakan dua hal penting dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat. Perkembangan sebuah kota atau wilayah akan selalu berhubungan dengan jalur transportasi atau jalan yang menghubungkannya dengan daaerah lain. Hal ini karena komunikasi dan transportasi yang lancar akan dapat menggerakkan roda perekonomian masyarakat, sehingga semakin banyaknya jalan yang menghubungkan suatu kota dengan kota lain atau suatu wilayah dengan wilayah yang lain, maka semakin maju kota atau wilayah tersebut.

Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sudah sejak dahulu fasilitas jalan raya yang memadai di pulau Jawa menjadi perhatian pemerintah. Salah satu ruas jalan yang paling terkenal dan dibangun zaman pemerintahan kolonial Belanda, tepatnya zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) adalah Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer di bagian barat pulau Jawa (Propinsi Banten, sekarang) hingga Panarukan di bagian timur (propinsi Jawa Timur, sekarang) dengan panjang lebih dari 1000 km dan menghubungkan kota-kota pelabuhan utama pulau Jawa.

Pembangunan jalan raya pos dibangun atas perintah kaisar Belanda sebagai bagian dari upaya mempertahankan pulau Jawa dari serbuan pasukan Angkatan Laut Inggris yang saat itu memblokade perairan laut Jawa. Waktu pembangunan jalan raya sepanjang 1000 km tersebut dilakukan selama satu tahun pertama (1808-1809) pemerintahan gubernur Jenderal Daendels.

Jalan Anyer – Panarukan merupakan ruas jalan pertama yang dibangun sepanjang pantai utara Jawa. Pembangunan jalan lainnya di pulau Jawa berikutnya baik di jaman Kolonial maupun kemerdekaan selalu bermuara di jalan raya Pos. Sehingga, keberadaan jalan raya Pos atau jalan Daendels tetap sebagai jalan utama yang potensial bagi pengembangan perekonomian pulau Jawa dan hingga saat ini belum tergantikan.

Pada awal pembangunannya, jalan raya pos dibangun sebagai bagian dari strategi militer dalam upaya mempertahankan pulau Jawa dari serangan Angkatan Laut Inggris yang saat itu sudah memblokade pulau Jawa. Hal ini diperlukan, karena jika terjadi penyerangan oleh pasukan Inggris maka lancarnya aliran bala bantuan ke daerah konflik sangat diperlukan dalam upaya mempertahankan pulau Jawa agar tidak sampai jatuh ke tangan Inggris.

Bila melihat kota-kota yang dilalui oleh Jalan raya pos, ternyata rute jalan raya tersebut tidak hanya menyusuri pesisir utara pulau Jawa dan menghubungkan kota-kota pelabuhan utama, karena dari Batavia jalan berbelok ke selatan menuju tengah-tengah pulau Jawa dan setelah melalui Tatar Ukur (Bandung, sekarang) rute jalan raya tidak terus ke selatan melainkan kembali berbelok menuju pesisir utara pulau Jawa, tepatnya menuju kota pelabuhan Cirebon. Dari Cirebon, jalan raya tersebut menyusuri pesisir utara pulau Jawa menghubungkan kota-kota pelabuhan yang berada di Jawa Tangah dan Jawa Timur hingga berakhir di Panarukan.

Bersamaan dengan saat pembangunan jalan raya, Daendels juga mendirikan jasa pos dan telegraf, sehingga jalan ini dikenal sebagai Jalan Raya Pos (De Groote Postweg). Jalan yang niat awalnya dibangun untuk tujuan militer dan mulai digunakan sejak tahun 1809, pada perkembangan berikut justru berkembang menjadi sarana perhubungan sangat penting di Pulau Jawa. Jalan ini telah menjadi saksi bisu lalu lintas berbagai barang komoditas yang diangkut melintasinya sejak masa penjajahan hingga sekarang. Kini, di usia yang sudah memasuki dua abad, Jalan Raya Pos telah berperan sebagai salah satu urat nadi utama perekonominan Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, muncul pertanyaan “mengapa pembangunan jalan raya pos di bagian barat pulau Jawa rutenya berbelok dari Batavia ke selatan, yaitu menuju Bogor dan kemudian berlanjut ke Tatar Ukur ?. Padahal rute langsung Batavia ke Cirebon relatif lebih dekat dan lebih mudah karena tidak perlu ‘membongkar’ perbukitan dan pegunungan”.

De Groote Postweg

Daendels adalah seorang Marsekal yang diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda oleh Louis Napoleon, Raja Belanda. Louis Napoleon sendiri adalah adik Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis yang diangkat sebagai wakil pemerintah perancis yang saat itu menguasai Belanda. Salah satu tugas yang diembankan kepada Daendels memperbaiki pertahanan Belanda di pulau Jawa dari kemungkinan serangan balatentara Inggris yang saat itu sudah memblokade pulau Jawa.

Blockade Inggris atas pulau Jawa telah menyebabkan Daendels harus datang ke Hindia Belanda melalui perjalanan panjang dengan menumpang kapal dagang berbendera Amerika Serikat asal New York. Setelah melalui perjalanan panjang, pada tanggal 5 Januari 1808 Daendels tiba di Anyer. Perjalanan dari Anyer ke Batavia dilakukan Daendels melalui darat dengan mempergunakan kereta kuda yang ditempuhnya selama 4 (empat) hari. Kondisi jalan tersebut lebih parah ketika musim penghujan karena tidak dapat dilalui.

Sebagai seorang yang berpengalaman di bidang strategi perang, dia menganggap jarak tempuh Anyer – Batavia selama 4 hari terlalu lama karena dapat menghambat distribusi bantuan yang diperlukan jika terjadi penyerangan oleh Angkatan Laut Inggris. Guna mengatasi pemasalahan tersebut, Daendels segera mengumpulkan semua pembesar pribumi di Semarang guna konsolidasi dalam upaya memperkuat pertahanan pulau Jawa agar tidak sampai jatuh ke tangan pasukan Inggris.

Karena perjalanan laut tidak memungkinkan, perjalanan dari Bogor ke Semarang dilakukan Daendels dengan kereta kuda melalui Bandung (Tatar Ukur) dan memakan waktu 10 hari perjalanan. Blokade laut yang dilakukan oleh Inggris dan lamanya perjalanan yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari Anyer ke Batavia dan dari Bogor ke Semarang memberikan inspirasi pada Daendels untuk membangun jaringan jalan sepanjang pulau Jawa yang dapat dilalui semua jenis kendaraan. Tujuannya, adalah agar waktu tempuh perjalanan darat antar kota dapat dipersingkat. Secara strategi Militer, kondisi tersebut dapat berdampak pada kemudahan dan kecepatan dalam permintaan atau pengiriman bala bantuan ketika diperlukan.

Sampai pertengahan abad ke 18, perjalanan dari Batavia ke pedalaman Priangan dilakukan dengan naik perahu atau rakit melewati Sungai Citarum dan Cimanuk. Baru pada tahun 1786, jalan setapak yang bisa dilewati kuda mulai menghubungkan Batavia, Bogor, Cianjur dan Bandung. Perhatian terhadap pembangunan jalan di pulau Jawa, termasuk ruas Batavia, Bogor, Cianjur dan Bandung, baru mendapat perhatian pemerintah kolonial Belanda pada masa pemerintahan gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) melalui pembangunan jalan raya pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan atau Jalan Raya Pos atau “De Groote Postweg”(Kunto, 1984:11-13). Panjang jalan raya yang dibangun mencapai lebih dari 1000 km dan menghubungkan kota-kota pelabuhan di pesisir utara pulau Jawa. Jalan ini menghubungkan kota-kota sebagai berikut : Anyer – Serang – Tangerang – Jakarta – Bogor - Cianjur – Cimahi - Bandung - Sumedang - Cirebon - Brebes - Tegal – Pemalang – Pekalongan - Kendal – Semarang – Demak – Kudus – Rembang – Tuban – Gresik – Surabaya – Sidoarjo - Pasuruan- Probolinggo - Panarukan.

Pembangunan jalan raya terpanjang pada masanya tersebut dilaksanakan dalam waktu satu tahun (1808-1809) dengan sistem kerja paksa, dimana setiap daerah yang dilalui diharuskan mengerahkan rakyatnya secara bergilir untuk kerja bakti membangun atau meningkatkan jalan tersebut. Menurut catatan dari sumber Inggris jumlah korban jiwa akibat dari pembangunan jalan ini adalah sebanyak 12.000 orang, sedang Haryoto Kunto dalam bukunya yang berjudul “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (1986) mencatat jumlah korban jiwa akibat pembangunan Jalan Raya Pos adalah sebanyak 30.000 jiwa atau 30 orang per Km. Jumlah korban sebenarnya pasti melebihi catatan yang ada, karena belum ada penyelidikan resmi untuk mengungkapnya.

Mengingat usulan pembangunan jalan raya baru dipastikan tidak akan dikabulkan pemerintah kerajaan Belanda dengan alasan akan memakan dana besar dan menguras kas pemerintah, untuk rencana tersebut Daendels mengajukan usulan kepada pemerintah pusat di Belanda berupa perbaikan sistem jalan di pulau Jawa, bukan membangun jalan baru yang memakan dana besar. Pada pelaksanaannya, Daendels memperbaiki jalan dari Cisarua sampai Karangsembung dengan biaya pemerintah sepanjang lebih kurang 150 km. Untuk membangun jalan raya sisanya sepanjang 850 km, Daendels pada tanggal 5 Mei 1808 memerintahkan aparat pemerintahan di pulau Jawa untuk mengerahkan pekerja rodi (pekerja sukarela dengan tidak dibayar) yang tugasnya adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas jaringan jalan yang sudah ada hingga dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan. Ruas jalan raya yang dibangun oleh Daendels, sebagian jalurnya merupakan bagian dari jalan desa yang dirintis dan ditempuh pasukan Sultan Agung ketika menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1630.

Perintah Daendels inilah yang menjadi awal penderitaan dan kesengsaraan orang Indonesia dalam membangun jaringan jalan terpanjang di dunia pada masa itu. Kesengsaraan dan penderitaan tersebut disebabkan karena selama pembangunan jalan, peralatan yang dipergunakan adalah peralatan sederhana yang dibawa pekerja dari rumah masing-masing, medan yang berat, serangan penyakit mematikan (malaria), tidak tercukupinya asupan makanan, serta berbagai bentuk kekejaman lainnya. Rakyat tidak dapat menolak perintah sang Gubernur Jenderal walau dirasa merugikan, karena penolakan akan berujung pada penyiksaan dan kematian.

Setelah satu tahun pengerjaan (1808-1809), proyek prestisius Daendels akhirnya terwujud. Sebuah ruas jalan raya dengan panjang 1000 km lebih membentang dari Barat sampai Timur pulau Jawa, menghubungkan kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan.

Bandung dipersiapkan sebagai tempat pengungsian

Ketika terjadi peperangan, keberadaan tempat pengungsian yang aman dan sulit dijangkau oleh musuh sangat diperlukan, termasuk tempat pengungsian bagi pemerintahan. Hal ini diperlukan agar roda pemerintahan dapat tetap berjalan walau peperangan berkecamuk. Dengan kata lain untuk memperlambat kekalahan. Keberadaan tempat pengungsian bagi pemerintahan tentunya harus dekat dengan pusat pemerintahan namun lokasinya mudah dijangkau namun cukup terlindung atau mudah dilindungi.

Sebagai seorang tentara yang sangat memahami strategi perang, Daendels meyakini betapa pentingnya sebuah tempat pengungsian bagi pemerintahan Hindia Belanda jika Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda diserang Inggris. Pemblokadean laut oleh Inggrislah yang mendorong Daendels untuk menjadikan daerah Tatar Ukur (Bandung) yang berada di pedalaman pulau Jawa sebagai tempat pengungsian dan pertahanan terakhir jika pemerintahan Hindia Belanda terdesak dari Batavia.

Jika dikaji secara geografis dan geostrategis, pemilihan Bandung sebagai tempat pengungsian yang dipersiapkan pemerintah Hindia Belanda sangatlah tepat dan sesuai dengan konsep geopolitik dan geostrategis yang berkembang pada masa itu. Daerah pengungsian atau pertahanan terakhir merupakan daerah yang mudah dijangkau dan mudah dipertahankan, akan tetapi bagi musuh daerah tersebut haruslah secara alami sulit dijangkau.

Pertama, secara geografis letak Bandung tidak terlalu jauh dari ibu kota Hindia Belanda, yaitu Batavia. Selain itu, Bandung juga tidak terlalu jauh dari kediaman resmi gubernur jenderal Hindia Belanda yang berada di Bogor. Kedua, secara geomorfologis, Bandung berada di dataran tinggi tepatnya merupakan bagian dari zona depresi antarmontana yang sulit dijangkau karena dikelilingi oleh pegunungan tinggi dan terjal. Ketiga, jalan masuk Bandung pada masa itu hanya dua, yaitu dari arah barat melalui Bogor kemudian Cianjur dan Padalarang; serta dari arah timur melalui Cirebon, kemudian Majalengka dan Sumedang. Sebelah utara dan selatan merupakan pegunungan tinggi yang ditutupi oleh Hutan Hujan Tropis yang lebat dan sulit dijangkau. Minimnya jalan masuk menuju Bandung akan memudahkan pengawasan dan penjagaan sekaligus mempertahankan wilayah, karena pasukan dapat difokuskan di kedua pintu masuk, yaitu di sebelah barat dan sebelah timur Bandung guna menghadang musuh.

Karena pembangunan Jalan Raya Pos (de groote postweg) diarahkan untuk mempermudah komunikasi dan transportasi ketika terjadinya peperangan atau lebih diarahkan pada fungsi militer. Untuk mendukung proyek tersebut, Daendels selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda memerintahkan kepada Bupati di sepanjang jalur yang dilewati Jalan Raya Pos harus membangun pusat pemerintahannya di daerah yang dilalui Jalan Raya Pos yang sedang dibangun, jika berada jauh dari jalan raya pos maka harus segera dipindahkan. Berkaitan dengan hal tersebut, tanggal 25 Mei 1810 Daendels mengeluarkan surat perintah kepada bupati Bandung, Wiranatakusumah II yang isinya perintah untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Karapyak ke daerah yang dilalui oleh Jalan Raya Pos. Perintah Gubernur Jenderal tersebut segera dilaksanakan oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah II. Setelah berbulan-bulan mencari lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan dan pembangunan pendopo kabupaten, maka pada tanggal 25 September 1810 secara resmi ibukota kabupaten Bandung pindah dari Karapyak ke lokasi baru di sisi selatan Jalan raya Pos tepian yang tepat di tepian sungai Cikapundung (kawasan Alun-alun Bandung, sekarang).

Selain itu, harapan yang disampaikan Daendels kepada pengelola kota Bandung ketika melakukan inspeksi pembangunan jembatan yang melintas di atas sungai Cikapundung, yaitu “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebound !” yang artinya “coba usahakan, bila aku kembali datang di tempat ini telah dibangun sebuah kota !” (Kunto, 1984:14). Harapan atau keinginan Daendels tersebut mendorong pemerintah kabupaten Bandung untuk berbenah hingga terwujud sebuah kota. Hal ini menunjukkan, secara tersirat harapan atau perintah Daendels tersebut menunjukkan perlunya dibangun berbagai fasilitas pendukung pemerintahan di Bandung yang dapat menjadi peyangga Batavia.

Uraian tersebut menunjukkan, bahwa perintah pemindahan ibukota kabupaten yang dilalui Jalan raya Pos ke tepian jalan raya pos memiliki tujuan agar memudahkan komunikasi dan konsolidasi pemerintahan dalam menghadapi ancaman penyerangan pasukan Inggris. Selain itu, perintah pemindahan Ibukota kabupaten Bandung dari Karapyak dan harapan Daendels ketika melakukan inspeksi pembangunan jembatan Cikapundung memiliki maksud agar Bandung dipersiapkan sebagai kawasan penyangga Batavia atau dengan kata lain sebagai tempat pengungsian.

Berdasarkan alasan tersebut, pembangunan jalan raya pos yang merupakan trans Jawa pertama pada awalnya tidak diarahkan sebagai penggerak roda perekonomian, namun lebih pada alasan kepentingan militer, yaitu kelancaran transportasi dan komunikasi antar kota guna menunjang pertahanan Hindia Belanda. Fakta lain yang terlihat dari rute jalan Daendels, adalah terlihat pada rute jalan raya pos dari Batavia ke Cirebon. Pada ruas ini, rute jalan dibangun tidak tetap di sepanjang pesisir utara, namun berbelok ke selatan melalui Bogor. Dari Bogor, jalan terus dibangun menuju selatan hingga masuk ke wilayah Tatar Ukur (Bandung) walaupun medan yang dilalui lebih berat karena harus mendaki gunung dan menuruni lembah dibanding jika tetap menyusuri pesisir utara Jawa. Setelah dari Bandung, rute jalan kembali mengarah ke kota pelabuhan di pesisir utara Jawa, yaitu Cirebon.

Analisis terhadap pembangunan jalan Daendels

Uraian pada bagian terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan jalan raya pos merupakan bagian dari strategi Daendels dalam mempertahankan pulau Jawa dari serbuan pasukan Inggris. Hal ini menunjukkan pertimbangan strategi militer dalam pembangunan jalan lebih dominan dibanding pertimbangan lain, terutama pertimbangan ekonomi, walaupun pada akhirnya keberadaan jalan raya pos menunjang pertumbuhan dan perkembangan kota-kota yang dilaluinya.

Pembangunan jalan raya pos yang lebih pada pertimbangan strategi pertahanan dapat terlihat dari rute jalan yang dibangun tidak hanya menghubungkan kota-kota pelabuhan semata, namun juga menghubungkan daerah pesisir dengan pedalaman, yaitu menghubungkan Batavia yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda dan sebagai kota pelabuhan utama di pulau Jawa dengan Bandung yang berada di pedalaman pulau Jawa. Selain itu, Jalan raya pos juga menghubungkan Bandung dengan Cirebon yang merupakan kota pelabuhan pada masa itu. Sedangkan mulai dari Cirebon hingga berakhir di Panarukan, rute jalan raya pos tetap menyusuri pesisir utara pulau Jawa menghubungkan kota-kota pelabuhan.

Rute jalan raya pos di bagian barat pulau Jawa yang setelah melewati Batavia berbelok ke selatan memasuki Priangan dan terus menuju timur hingga mencapai Cirebon menunjukkan pentingnya keberadaan daerah penyangga Batavia atau daerah pengungsian yang representatif jika terjadi penyerangan oleh pasukan Inggris. Berdasarkan teori pertahanan pada masa itu, daerah ideal bagi pertahanan adalah daerah yang secara alami sulit dijangkau akibat terhalang pegunungan tinggi dengan medan terjal, karena sudah pasti musuh menyerang dari arah lautan.

Berdasarkan uraian tersebut, secara tersirat tampak bahwa Daendels menilai posisi Bandung sebagai tempat ideal bagi pengungsian, termasuk tempat pengungsian bagi pemerintahan sekaligus sebagai pertahanan terakhir Belanda di pulau Jawa. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa secara geografis letak Bandung yang berada di tengah pulau Jawa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Batavia dan secara geomorfologi berada pada zona depresi antarmontana. Zona ini berupa dataran yang luas dan berada di antara zone pegunungan utara Jawa dan zone pegunungan selatan Jawa (Bemmelen, 1949). Kedua zona pegunungan ini merupakan kawasan pegunungan yang relatif curam dan sulit dijangkau sehingga dapat menjadi benteng alam dari serangan musuh yang datang dari arah utara dan dari arah selatan. Sehingga, pertahanan cukup dikonsentrasikan di dua pintu masuk, yaitu dari arah timur dan arah barat.

Penutup

Lebih dari dua abad yang lalu, Jalan raya pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan dibangun sebagai bagian dari strategi pertahanan pemerintah Hindia Belanda dalam mempertahankan pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan pasukan Inggris yang sudah memblokade lalu lintas maritim pulau Jawa. Hal ini menunjukkan adanya perubahan orientasi berkenaan dengan mobilitas pasukan dari mobilitas maritim ke mobilitas daratan. Perubahan orientasi ini mendorong pembukaan jalan baru yang mampu dilewati semua jenis kendaraan militer dan menghubungkan kota-kota di sepanjang pulau Jawa, tujuannya tidak lain agar mobilitas pasukan semakin tinggi serta tidak tergantung pada moda angkutan maritim.

Sebagai orang yang berpengalaman di medan perang, Daendels Melakukan pendekatan geopolik dan geostrategi ketika merencanakan membangun jalan raya Daendels, tujuannya agar bala bantuan cepat datang ketika dibutuhkan dapat segera datang serta jika terdesak pemerintah dapat segera mengungsikan roda pemerintahannya ke daerah yang lebih aman dan cukup terlindung, terutama terlindung secara alami oleh benteng-benteng alam yang sulit ditaklukkan..

Walau pada awalnya ditujukan untuk kepentingan militer, namun pada perkembangannya keberadaan Jalan Raya Pos telah menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi kota-kota yang dilaluinya, termasuk Bandung. Kota yang pada awal abad ke 18 hanyalah sebuah kampung kecil di tengah rimba belantara tropika basah, namun dalam waktu kurang dari satu abad setelah dibangunnya Jalan Raya Pos berubah menjadi kota yang memiliki fasilitas lengkap dan menjadi pusat bagi pertumbuhan kawasan pedalaman Jawa Barat. Selain itu, letaknya yang strategis menjadikan Bandung sebagai calon kuat dan satu-satunya yang direkomendasikan sebagai Ibukota Hindia Belanda mengganti Batavia. Bahkan, pada saat Negeri Belanda diduduki oleh Jerman dan pemerintah Kerajaan Belanda menjalankan roda pemerintahannya di Inggris pernah diusulkan untuk memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Belanda ke daerah milik sendiri yang jauh dari Belanda dan diusulkan Bandung sebagai Ibukota Kerajaan Belanda di pengungsian, namun sayang usulan tersebut tidak disetujui oleh Ratu Belanda dengan alasan terlalu jauh.

Daftar Pustaka

Abdurochim, I. (1986) Geografi :Latar Belakang Pemikiran dan Metoda. Bandung : Bina Bhudaya.

Toer, P.A. (2005) Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta : Lentera Dipantara

Budihardjo, E. (1991) Arsitektur dan kota di Indonesia. Bandung : Alumni

Dardjoeni, N. (1991) Dadar-dasar Geografi Politik. Bandung : Alumni

Hardjasaputra, A.S. (2000) “Bandung” dalam Lubis, N.H., et al (2000) Sejarah kota-kota lama di Jawa Barat. Bandung : Alqaprint.

Hidayat, I.; Mardiyono (1983) Geopolitik. Surabaya : Usaha Nasional

Kunto, H. (1984) Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung : Granesia.

Kunto, H. (1986) Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung : Granesia.

Nas, P.J.M., and Pratiwo (2002) “Java and de groote postweg, la grande route, the great mail road, Jalan Raya Pos” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, On the road The social impact of new roads in Southeast Asia 158 (2002), no: 4, Leiden, 707-725. [online]. Tersedia : http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/view/1744/2505 [20-02-2010].


Kamis, 08 Juli 2010

Pendidikan di Tatar Sunda

Oleh : Iwan Hermawan

Neleng neng gung; Neleng neng gung
Geura gede geura jangkung; Geura sakola ka Bandung
Geura makayakeun indung


Sebuah tembang yang sering kita dengar dari mulut orang tua ketika menimang anaknya yang masih bayi atau usia balita. Tembang tersebut berisikan harapan orang tua pada anaknya, agar cepat besar dan bisa bersekolah tinggi dan setelah lulus bisa membahagiakan orang tua, sebuah harapan yang hanya tumbuh di lingkungan masyarakat yang sudah melek akan pendidikan, karena tidak mungkin orang tua berharap anaknya bersekolah tinggi jika lingkungan sekitar tidak mendukung. Melihat isinya, tembang ini berkembang ketika Bandung menjadi pusat pendidikan di tatar Sunda, khususnya dan Indonesia (Hindia pada umumnya), dimana orang dari berbagai penjuru negeri datang ke kota ini dengan maksud untuk menuntut ilmu.
Perjalanan pendidikan formal di tatar Sunda sebenarnya berlangsung bukan sejak mulai berkembangnya tembang di atas, tetapi jauh sebelum Belanda memperkenalkan sistem pendidikan barat/modern, yaitu sejak zaman kerajaan Sunda melalui Mandala atau kabuyutan. Keruntuhan kerajaan Sunda bukan berarti ikut hancur juga tatanan pendidikan di tatar Sunda, karena budaya pendidikan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman namun perkembangannya sesuai dengan selera dan kepentingan penguasa yang berkuasa di tatar Sunda.

Dari Mandala ke Sekolah model barat
Pada masyarakat tradisional Sunda, belajar sudah menjadi bagian dalam kehidupannya sejak dahulu, Carita Parahyangan mencatat, raja Sunda yang bernama Sang Rakeyan Darmasiksa (hidup sekitar abad ke 12 sampai 13) merupakan pendiri lembaga pendidikan di Tatar Sunda pada masa itu. Lembaganya diberi nama Sanghyang Binayapanti, sedangkan kompleks pendidikannya disebut Kabuyutan yang kemudian disebut juga mandala. Kedudukan mandala atau kabuyutan memperoleh tempat tersendiri yang tingi kedudukannya sehingga sangat dihormati pada struktur kerajaan dan masyarakat Sunda masa itu.
Keberadaan lembaga pendidikan (kabuyutan) bagi masyarakat Sunda dianggap sebagai tempat yang sakral dan secara formal perlu dilindungi oleh kerajaan. Pengakuan akan keberadaan Kabuyutan sebagai daerah khusus dan dilindungi keberadaannya oleh kerajaan terungkap pada prasasti Kebantenan I, II, III dan IV. Isi perasasti-prasasti tersebut merupakan amanat Raja Pajajaran yang menjadikan daerah Jayagiri dan Sunda Sembawa sebagai kabuyutan serta melindunginya dari berbagai ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Berdasarkan naskah Amanat Galunggung, kedudukan kabuyutan di kerajaan Sunda sangat tinggi hingga seorang raja yang tidak dapat mempertahankan dari serangan musuh nilainya lebih rendah dibanding kulit lasun (Musang) di tempat sampah.
Keberadaan kabuyutan sebagai lembaga pendidikan telah menghasilkan berbagai karya tulis yang isinya terutama berkenaan dengan tuntunan hidup manusia di dunia agar selamat di dunia dan akhirat kelak, diantaranya : Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Koropak 630), dan Amanat Galunggung (koropak 632).
Masuknya Islam di Tatar Sunda telah memberikan warna tersendiri pada pendidikan di Tatar Sunda, terutama pada pendidikan keagamaan. Menurut catatan Ekadjati, dalam perjalanan sejarahnya terdapat dua model pendidikan agama pada masa Islam di Tatar Sunda, yaitu:
1. Kegiatan Individual yang dilaksanakan oleh seorang atau beberapa orang mubalig atau guru agama
2. Kegiatan lembaga pesantren. Pesantren yang pertama di Tatar Sunda adalah pesantren yang dibuka dan dipimpin oleh Sundan Gunung Jati sekitar abad ke 15 di bukit Amparan Jati, sekitar 5 km utara Cirebon. Sedangkan di daerah pedalaman Tatar Sunda, pesantren pertama didirikan di daerah Pamijahan, Tasikmalaya Selatan, pada sekitar abad ke 17.

Proses pendidikan agama Islam di Tatar Sunda sampai sekitar abad ke 19 mempunyai ciri khas, yaitu : pertama, terdapat kemiripan pola dan karakter antara Pesantren dengan kabuyutan. Keduanya menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan ajar. Kedua, orientasi dan bahasa pengantarnya mengarah pada daerah (Sunda) dan bahasa Jawa, sebagaimana lembaga pendidikan pada masa pra-Islam, karena islamisasi di Tatar Sunda banyak ditunjang dan dipelopori oleh orang dan budaya Jawa, baik pada masa Kesultanan Demak (abad ke-15 dan 16) maupun masa kesultanan Mataram (Abad ke-17 dan 18). Keberadaan Pesantren sebagai tempat pendidikan terus berkembang pesat hingga pesantren mempunyai kedudukan yang kuat dan fungsi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan pemerintahan. Pesantren menjalin hubungan yang sangat erat dengan pemegang kekuasaan di daerahnya (Sultan di Cirebon dan Banten, bupati di Priangan) yang dapat dilihat dari dijadikannya pesantren sebagai tempat pendidikan putra-putra menak atau pembesar setempat.
Pada saat Tatar Sunda berada di bawah kekuasaan kesultanan Mataram sampai dengan pertengahan abad ke 19, penggunaan bahasa Sunda sebagai bahasa resmi atau bahasa pemerintahan semakin tergeser oleh bahasa Jawa, bahasa Sunda hanya dipergunakan sebagai bahasa komunikasi di tengah masyarakat (bahasa lisan). Para pembesar di Tatar Sunda lebih senang mempergunakan bahasa Jawa dalam komunikasi resmi (surat menyurat) di antara mereka, meski dalam kehidupan sehari-hari mereka berbicara dalam bahasa Sunda, selain itu penggunaan huruf Sunda dalam bahasa tulis juga semakin tergeser oleh huruf Cacarakan dan huruf Arab (pegon).
Penyelenggaraan Pendididikan untuk masyarakat Bumiputra pada awal abad ke-19 mulai menjadi kewajiban bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1808 Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1762-1818) mengumumkan keputusan yang mengharuskan para regent (bupati) membangun sekolah untuk anak-anak Bumiputra dan mengangkat guru-guru berkualitas. Namun, keputusan tersebut tidak dapat langsung terlaksana dengan baik sampai ditetapkan dasar hukumnya pada tahun 1818, yaitu Regerings Reglement (Peraturan Pemerintah Hindia Belanda) yang menetapkan pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak-anak Bumiputra yang sama atau mirip dengan yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa (Chijs). Tujuan pendirian sekolah bagi kaum pribumi adalah untuk memperoleh tenaga kerja murah yang terdidik dan terlatih dalam jumlah banyak sejalan dengan dikembangkannya sistem pemerintahan yang profesional dan diberinya kesempatan para pemilik modal (swasta) untuk membuka perusahaan-perusahaan besar.
Pembangunan Sekolah bagi Bumiputra dengan biaya pemerintah Hindia Belanda dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen (1816-1826), yaitu dengan melengkapi fasilitas pendidikan di Pasuruan, Karawang dan Cianjur. Sekolah-sekolah tersebut masih sederhana, seorang guru mengajarkan baca tulis kepada siswa selama beberapa jam sehari. Di Cianjur, Bupati mendukung pendirian sekolah tersebut, karena sekolah dipandang dapat membuka jalan bagi anak-anak mereka dalam memperoleh pendidikan, yang pada akhirnya diharapkan dapat mendekatkan mereka dengan pejabat kolonial. Sistem pendidikan baru tersebut tidak langsung dapat diterima masyarakat luas, karena masyarakat lebih suka mengirim anak-anaknya ke Pesantren dan Madrasah untuk belajar mengaji dan membaca kitab-kitab Agama. Pada bulan September 1851, Sekolah Pelatihan Guru (Kweekschool) pertama didirikan di Surakarta. Sedangkan di Jawa Barat, kweekschool berdiri pada tahun 1866 di Bandung berkat dukungan kuat dari KF Holle.
Setelah sekolah guru di Bandung menghasilkan lulusan, perkembangan pendidikan bagi anak-anak pribumi mengalami perkembangan yang signifikan. Pada tahun 1908 di Tatar Sunda telah berdiri sebanyak 90 Sekolah Dasar, 53 di antaranya berada di Priangan. Jika pada awalnya yang dapat bersekolah adalah anak-anak kalangan menak (elit), perluasan kesempatan pendidikan terus dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah di pedesaan (Sakola Desa, Volksschool) sehingga anak-anak dari kalangan rakyat biasa (cacah) juga bisa bersekolah, walau kualitas sekolahnya lebih rendah. Bagi lulusan Sekolah Dasar (Sakolah Distrik, Sakola Kabupaten, HIS) yang berminat untuk melanjutkan studinya disediakan sekolah lanjutan, sekolah umum (MULO, AMS, HBS) dan sekolah kejuruan (Kweekschool, Hoge Kweekschool, Ambachtschool, STOVIA, NIAS, Rechtsschool, Cultuurschool, Middlebare Landbouwschool, Hoofdenschool yang berubah menjadi OSVIA).
Selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, berdiri juga sekolah-sekolah Swasta yang didirikan oleh organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, seperti Muhammadyah dan Paguyuban Pasundan. Dalam praktek pendidikannya, selain memberikan materi pelajaran modern, pada sekolah-sekolah swasta juga diberikan mata pelajaran khusus tentang keagamaan dan Kasundaan yang tujuannya sudah jelas agar para lulusan selain mampu mengusai Ilmu Pengetahuan barat tetapi tetap tidak melupakan nilai-nilai luhur agamanya sekaligus nilai-nilai kasundaan.
Sejak tahun 1920-an didirikan juag Pendidikan Tinggi oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, seperti Sekolah Tinggi Tehnik (TH), Sekolah Tinggi Hukum (RHS), dan Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS). Sejak saat itu, minat penduduk pribumi untuk bersekolah terus meningkat dengan tajam sehingga jumlah sekolah terasa kurang. Meningkatnya minat pribumi untuk bersekolah didorong oleh kenyataan, lulusan sekolah-sekolah tersebut relatif mudah mendapat pekerjaan baik di lingkungan pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan swasta sehingga status sosial dan kesejahteraan hidup mereka menjadi lebih baik. Sekolah mulai menjadi kebutuhan masyarakat tatar Sunda khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Perkembangan pendidikan di tanah Sunda terus berkembang dan semakin berkembang di era kemerdekaan, jumlah sekoah yang dibuka terus bertambah dari tahun ke tahun, demikian pula halnya jumlah Perguruan Tinggi terus bertambah jumlahnya dari waktu ke waktu, semua itu dilakukan untuk memeberikan kesempatan kepada masyarakat di tatar Sunda untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Penutup
Perjalanan pendidikan tentu tidak akan berhenti sampai di sini, tapi akan terus berjalan dan berkembang entah sampai kapan, mungkin sampai dunia ini hancur dn tidak ada lagi menusia yang hidup di muka bumi. Berbagai target dan tujuan dibebankan kepada pendidikan dan semua itu dilakukan demi peningkatan kualitas generasi berikut, karena kita tidak akan pernah kembali ke belakang namun terus maju ke depan. Agar generasi muda Sunda saat ini dan masa yang akan datang menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan amanat UUD 1945, maka pendidikan harus mampu menjadi ajang proses regenerasi yang berkualitas. Semoga perjalanan pendidikan di tatar Sunda ke depan dapat semakin nanjung dan mampu menghasilkan generasi yang berkualitas yang siap membangun negeri dengan penuh amanah. Sebuah generasi yang cageur, bageur, bener jeung pinter. Semoga......