Rabu, 10 Maret 2010

Belajar di Museum

Oleh : Iwan Hermawan

Menurut Hilgard, “Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat dan sebagainya)”. Sedangkan menurut Gagne, “Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance) berubah dari waktu sebelum mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tersebut” (Purwanto, 1990:84).

Menurut pandangan Modern, Belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat interaksi dengan lingkungan. Seseorang dinyatakan melakukan kegiatan belajar setelah ia memperoleh hasil, yakni terjadinya perubahan tingkah laku, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya (Hamalik, 1985:40-41). Dalam belajar menurut Thomas dalam Hamalik (1985:45) terdapat 3 tingkatan pengalaman belajar, yaitu :

1. Pengalaman melalui benda sebenarnya

2. Pengalaman melalui benda-benda pengganti

3. Pengalaman melalui bahasa.

Dari uraian tersebut menunjukkan, proses pembelajaran tidak hanya berlangsung dalam ruangan kelas di sekolah tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan Masyarakat, sehingga Museum sebagai bagian dari Masyarakat merupakan salah satu tempat yang dapat dipilih oleh guru untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas, karena koleksi pameran dan diorama Museum dapat membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang diajarkan di dalam kelas.

Bagi pembelajaran IPS, Museum merupakan tempat yang tepat untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas, karena menurut Boyer (1996), “Museum as educational institution teach us about the objects of lasting human interest and value” selain itu, Sunal dan Haas (1993: 294) mengungkapkan, “A trip a museum or restoration is often reported as a positive memory of the study of History”.

Dalam kegiatan pembelajaran, siswa diajak atau ditugaskan oleh guru berkunjung ke museum dengan tujuan untuk mengamati objek yang dipamerkannya. Selama mereka berada di museum dan mengamati objek pameran diharapkan pikiran mereka bekerja dan objek pameran yang diamatinya dapat menjadi alat bantu belajar. Jika dilaksanakan dengan baik, kegiatan kunjungan ke Museum dapat menjadi batu loncatan bagi munculnya ide dan gagasan baru dalam pembelajaran, karena saat berkunjung di museum siswa dirancang untuk menggunakan kemampuan berfikir kritis yang menurut Takai dan Connor (1998), meliputi :

  1. Comparing and Contrasting (kemampuan mengenal persamaan dan perbedaan pada objek yang diamati)
  2. Identifying and Classifying (kemampuan mengidentifikasi dan mengelompokkan objek yang diamati pada kelompok seharusnya).
  3. Describing (kemampuan menyampaikan deskripsi secara lisan dan tulisan berkenaan dengan objek yang diamati).
  4. Predicting (kemampuan untuk memprakirakan apa yang terjadi berkenaan dengan objek yang diamati).
  5. Summarizing (kemampuan membuat kesimpulan dari informasi yang diperoleh di Museum dalam sebuah laporan secara singkat dan padat).

1 komentar:

  1. Museum memang identik dengan dunia pendidikan. Sayangnya kunjungan ke museum yang dilakukan oleh siswa sekolah atas dasar tugas dari sekolah menurut saya belum dapat memfungsikan museum sebagai lembaga pendidikan informal sesuai yang diharapkan. Beberapa penyebabnya adalah siswa yang dibawa oleh guru/sekolah dalam kegiatan karyawisata terlalu banyak (satu rombongan bisa mencapai 12 bis!). Bayangkan bagaimana siswa akan belajar dalam suasana seperti itu (ini belum termasuk sekolah lain yang membawa siswa dalam jumlah tidak jauh berbeda). Program-program edukasi di museum yang dirancang oleh pengelola museum sering kali tidak mencapai sasaran jika siswa yang datang sebanyak itu. Perlu informasi berkesinambungan dengan sekolah bahwa membawa siswa sekian banyak tidak akan efektif bagi kedua belah pihak (siswa dan museum). Kedua, guru yang mengantar rombongan siswa (ke museum kami) sering didapati tidak mendampingi siswanya dengan alasan mereka datang setiap tahun ke museum kami (intinya "bosan"). Perlu dipahami bahwa meskipun guru datang tiap tahun tetapi siswa yang dibawa berbeda-beda. Seharusnya guru turut mendampingi siswa ketika melakukan kunjungan ke museum. Ketiga, jarang ada guru yang melakukan kunjungan pendahuluan ke museum sebelum membawa siswanya. Akibatnya guru pun tidak mampu memberikan informasi yang benar tentang koleksi museum ketika kunjungan terjadi. Saya sering mendapati hal seperti ini (guru salah memberikan keterangan tentang koleksi museum). Keempat, sekolah yang datang dengan memakai jasa biro perjalanan biasanya tidak akan efektif pula memanfaatkan kegiatan belajar di museum karena petugas biro perjalanan biasanya sudah mengatur jadwal kunjungan ke beberapa tempat sehingga kesempatan berada di museum terbatas (tidak sesuai dengan kebutuhan siswa). Intinya, jika siswa yang datang terlalu banyak, pihak museum pun tidak dapat memberikan pelayanan yang optimal (pemanduan tidak dapat berjalan efektif).

    BalasHapus